PROFESI-UNM.COM – Menjadi seorang mahasiswa tidak bisa dipisahkan dengan lembaga kemahasiswaan. Pasti ada kegiatan maupun kepentingan yang mengharuskan berurusan dengan lembaga kemahasiswaan. Namun, melihat kondisi sekarang lembaga kemahasiswaan mulai sunyi akan perkumpulan mahasiswa-mahasiswa di area sekretariat dan pada area lingkungan kampus. Semangat berlembaga mahasiswa yang terus mengalami kepudaran akibat berbagai hambatan dan problematika dari internal maupun eksteral mahasiswa itu sendiri. Salah satunya yaitu dampak dari kebijakan pemerintah yang menyebabkan sebagian besar mahasiswa meninggalkan kampus dan disibukkan dengan kegiatan-kegiatan akademik. Kegiatan ini dibungkus dalam peraturan menteri pendidikan dan kebudayaan republik Indonesia nomor 3 tahun 2020. Permendikbud ini berisi tentang standar nasional pendidikan tinggi dimana pada pasal 18 disebutkan bahwa pemenuhan masa dan beban belajar bagi mahasiswa program sarjana atau program sarjana terapan dapat dilakukan dengan dua metode.
Metode pertama sesuai dengan prosedur perkuliahan sebelumnya yaitu dapat dilaksanakan dengan cara mengikuti seluruh proses pembelajaran dalam program studi pada perguruan tinggi sesuai masa dan beban belajar. Kemudian pada metode kedua yaitu mengikuti proses pembelajaran di dalam program studi untuk memenuhi sebagian masa dan beban belajar dan sisanya mengikuti proses pembelajaran diluar program studi. Poin/ayat selajutnya pada pasal ini menerangkan bahwa perguruan tinggi wajib memfasilitasi pelaksanaan pemenuhan masa dan beban belajar dalam proses pembelajaran paling sedikit 4 (empat) semester dan paling lama 11 (sebelas) semester merupakan pembelajaran di dalam program studi. Maka dari itu pada metode ini program studi hanya berkewajiban melakukan proses pembelajaran minimal 4 semester yang selebihnya dapat ditempuh diluar program studi masing-masing. Kemudian pada poin selanjutnya dijelaskan bahwa dapat melakukan perkuliahan paling lama 3 semester atau setara 60 sks perkulihan diluar program studi. 60 sks ini berupa 20 sks atau setara 1 semester perkulihan di luar program studi tapi tetap di perguruan tinggi yang sama dan 40 sks atau setara 2 semester perkulihan dilakukan di perguruan tinggi yang berbeda atau bahkan diluar perguruan tinggi.
Meskipun implementasi permendikbud ini belum optimal secara merata namun jika tidak dilakukan revisi maka perguruan tinggi harus siap dalam penerapannya. Suasana perguruan tinggi pada semester-semester selanjutnya sebagian besar akan mewajibkan mahasiswa untuk mengambil mata kuliah di luar dari program studi maupun perguruan tinggi mahasiswa. Kebijakan ini berlaku bagi mahasiswa pada saat memasuki semester tiga dan sangat berdampak terhadap lembaga kemahasiswaan dimana pengurus maupun anggota dari lembaga kemahasiswaan juga sebagian besar aktif disemester yang sama. Mahasiswa yang harusnya berkiprah di organisasi kemahasiswaan dituntut untuk mengikuti kebijakan dari kemendikbud ini. Mereka akan melupakan fungsi dan tujuan mahasiswa sendiri sebagai sosial control dikarenakan tidak memiliki ruang dan waktu dalam pengkajian regulasi yang hadir dikalangan kampus, masyarakat dan negara pada umumnya.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Proses perkuliahan yang dilakukan diluar program studi ini dinamakan Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM). Mbkm memberi kebebasan yang maksimal selama 3 semester bagi mahasiswa pada perguruan tinggi untuk berkembang, kreatif, dan melakukan berbagai inovasi. Mahasiwa kemudian terjerumus kedalam program ini dikarenakan berbagai keuntungan serta pengalaman yang didapatkan. Minilik 40 tahun lalu dimana kebijakan pemerintah berupa nkk/bkk kembali dalam wujud mbkm. Pemberlakuan nkk/bkk merupakan bentuk pemadaman secara langsung akan gerakan-gerakan mahasiswa dan menjauhkan mahasiswa dari realita sosial yang terjadi. Pada era sekarang pemerintah kembali melakukan pembungkam secara tidak langsung berupa kegiatan-kegiatan yang padat diluar kampus berkedok mbkm. Kebijakankebijakan tersebut yang kemudian menjadi dasar kokoh dalam mematikan organisasi/lembaga kemahasiswan. Kampus merdeka merupakan perwujudan kembali kehidupan kampus yang bersih dan merdeka dari kegiatan aktivis mahasiswa. Seiring dengan itu, gerakan-gerakan mahasiswa pun juga ikut melemah. Mbkm menyebabkan hilangnya ketertarikan mahasiswa memahami kondisi realitas ekonomi, sosial dan politik yang terjadi di masyarakat. Mbkm ini merupakan bentuk pengalihan konsetrasi mahasiswa yang berdampak terhadap kemunduran gerakan lembaga kemahasiswaan. Problematika ini pun semakin menjalar akibat intervensi maupun tekanan dari pihak birokrasi dalam berlembaga. Intervensi birokrasi menyebabkan ketakutan-ketakutan mahasiswa dalam mengambil tindakan. Upaya meningkatkan minat berlembaga semestinya juga menjadi perhatian pihak kampus. Kebijakan-kebijakan yang hadir ditataran birokrasi harusnya mampu meningkatkan ketertarikan mahasiswa dalam berlembaga.
Pemerintah maupun birokrasi hendaknya mengambil langkah yang tepat untuk menangani kondisi realitas yang terjadi dikalangan mahasiswa akibat kebijakan ini. Kegiatan aktivis mahasiswa harusnya bisa juga dikonversi jadi sks sama dengan program-program dari mbkm. Ini adalah salah satu langkah untuk kembali meningkatkan minat berlembaga. Argumen ini juga diangkat oleh wakil rektor UGM bidang kemahasiswaan, pengabdian masyarakat, dan alumni, Arie Sujito yang mengatakan aktivitas dan pengalaman mahasiswa diluar kelas juga mesti dihargai sebagai bagian dari perkulihan. Langkah ini harusnya bisa jadi pertimbangan oleh kemendikbud sebab jika mahasiswa dituntut untuk mengambil mata kuliah 60 sks diluar program studi sedangkan kegiatan aktivis tidak dapat direkognisi maka akan terjadi ketakutan kondisi kampus yang sunyi akan mahasiswa aktivis. Dibalik kebebasan mahasiswa dalam kampus merdeka untuk memilih program-program mbkm, kampus pun akan benar-benar merdeka dari gerakan-gerakan sosial yang hanya bisa dibangun didalam kampus dan oleh mahasiswa-mahasiswa murni (mahasiswa Non-mbkm) dari perguruan tinggi.
Di samping itu pengaruh lingkungan ataupun keluarga yang masih kurang dalam memaknai hadirnya sebuah lembaga di kehidupan mahasiswa. Faktor ini juga yang melatarbelakangi mahasiswa tidak dapat bergabung lebih jauh kedalam lembaga kemahasiswaan. Kemudian tuntutan lembaga kemahasiwaan hari ini harus kembali melalukan rekonstruksi dalam proses peralihan akibat covid-19. Fenomena hadirnya covid-19 menyebabkan mahasiswa melakukan kegiatan secara daring sehingga perlu penyesuaian kondisi interaksi secara langsung yang terjadi saat ini. Terlepas dari itu, problematika yang hadir juga berupa kurangnya minat dari mahasiswa untuk berlembaga. Seorang mahasiswa harusnya sadar akan tanggung jawab dalam mengemban gelar “mahasiswa”. Najwa shibab sebagai seorang jurnalis dan aktivis media sosial pun bersuara tentang kondisi mahasiswa hari ini dalam sebuah catatan untuk mahasiwa. Jika idealisme ialah kemewahan yang hanya dimiliki pemuda akan diisi dengan apa periode kalian sebagai mahasiswa. Belajar tentu suatu keharusan yang tak boleh diabaikan. Namun merugilah jika belajar disempitkan semata perkulihan. Nikmati kehidupan kampus dengan terus mengasah. Jangan habiskan waktu dengan terus berkeluh kesah karena mahasiswa adalah anak-anak pilihan yang berkesempatan merenguk dalamnya sumur ilmu pengetahuan. Bacalah sebanyak-banyaknya buku. Jangan main gadget melulu. Kongkow-kongkow boleh saja apalagi di sekretariat organ mahasiswa. Kenali sebaik-baiknya teman-temanmu. Hayati masyarakat disekelilingmu agar kampus tidak menjelma menjadi tembok yang memenjarakanmu. Beranilah mengambil pendirian dalam banyak persoalan. Anak muda sekarang cari aman dengan bersikap netral-netralan. Tinjulah kemapanan dengan kepalan tangan. Lawanlah kejumudan dengan kenekatan membuat terobosan. Jangan jatuh dan terantup, dengan terbentur kau akan terbentuk.
Kini, hidup mahasiswa lebih mengarah kepada pemenuhan hak akademik berupa aktivitas dari kampus merdeka dan melupakan fungsi aktivisnya sebagai agent of control di kalangan mahasiswa itu sendiri sampai di kalangan masyarakat umum. Orientasi lembaga kemahasiswaan semakin pudar dalam perkembangan zaman. Dekadensi arah gerakan akibat problematika yang hadir tanpa solusi. Bendara-bendera lembaga kemahasiswaan semakin jarang ditemukan dipersimpangan jalan. Sumpah mahasiwa hanya akan melukiskan sebuah rangkaian kata tanpa implementasi. Begitupun dengan teriakan “Hidup Mahasiswa” akan melahirkan kerinduan akibat menurunnya animo berlembaga. Mahasiswa menjadi klien yang berharga, bukannya pembelajar, mereka mendapatkan kepercayaan diri besar tetapi sedikit ilmu. Buruk lagi, mereka tidak mengembangkan kebiasaan berpikir kritis yang bisa menjadi bekal mereka untuk terus belajar (Nichols, 2017: The Dead of Expertise).
Berdasarakan problematika-problematika yang hadir mahasiswa harus kembali bertempur mengembalikan iklim kejayaan lembaga mahasiswa. Mahasiswa perlu merapatkan kembali barisan pergerakan. Gempuran kampus merdeka harusnya tidak mampu mematikan semangat berlembaga melainkan menjadi peluang dalam meningkatkan minat berlembaga. Hidupkan kembali diskusi-diskusi diarea kampus dan sekretariat pada umumnya. Mahasiswa aktivis selalu ahli menyelesaikan masalah dengan solusi terbaik. Begitupun dengan rekonstruksi kesadaran akan tanggung jawab yang mesti terus ditingkatkan. Lembaga kemahasiswaan harus terus bisa menjembatani segala aspirasi dan keresahan yang hadir pada setiap elemen mahasiswa dan masyarakat. (*)
*Penulis adalah Firman, Kabid Advokasi HMJ Fisika FMIPA UNM Periode 2020─2021