
PROFESI-UNM.COM – Gerakan mahasiswa kini redup dan terombang ambing. Matinya tradisi ilmiah. Lenyapnya budaya baca, kaji, tulis dan aksi. Terkikisnya gerakan literasi. Tergantikan oleh budaya tunduk. Ironis saya katakan.
Membayangkan perubahan atau revolusi yang dilakukan oleh golongan muda teruntuk untuk mahasiswa saat ini menjadi mimpi tiada henti. Orang-orang yang menyandang gelar sebagai MAHA-siswa, sebagian besar hanya menjadi penghuni kampus yang tak lagi bisa menciptakan suasana sebagaimana kampus sebagai arena untuk menghadirkan intelektual-intelektual yang peka melihat kondisi. Kampus tak lebih baik dari sebuah museum yang penghuninya sibuk mempoles dan mempercantik dirinya dengan kehidupan elit. Penyakit elitis inilah yang menjadi salah satu pemicu tak adanya lagi perlawanan terhadap tirani yang dihadirkan oleh watak-watak birokrat yang bejat.
Miris, seakan-akan jati diri mahasiswa berada pada sebuah ponsel pintar yang semakin canggih. Semakin hari semakin nampak. Bahkan dunia berbuku lenyap dimakan rayap. Dunia berbuku tergantikan dengan dunia ber-smartphone canggih. Tangan-tangan yang seyogyanya memegang buku untuk memperluas ilmu pengetahuan dalam membaca realitas sosial tergantikan dengan smartphone ala kapitalisme.
Buku hanya menjadi pajangan dan hiasan ruangan maupun sekretariat.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Lembar-lembarannya tak pernah pagi dibuka. Buku-buku yang menjadi sumber ilmu pengetahuan dibiarkan kusut, robek dan tak terawat. Kuota kini memiliki status yang lebih tinggi di bandingkan dengan sebuah buku. Belum lagi virus ‘acuh tak acuh’ yang menyebar luas dikalangan mahasiswa. Banyak yang sadar, pendidikan yang didapatkan bukanlah pendidikan ala Paulo Friere ‘memanusiakan manusia’ melainkan pendidikan yang tidak me-merdeka-kan dan hanya memenjarakan pengetahuannya. Namun, virus yang menjangkiti mahasiswa menjadikan mereka ‘buta’ dan ‘tuli’ dengan keadaan pendidikan yang diembannya.
Fenomena kampus yang merupakan instituti pendidikan berevolusi menjadi pasar. Tawar-menawar dengan para dosen untuk mendapatkan nilai yang tinggi menjadi budaya dan tradisi. Menjadi sebuah penanda pendidikan hanya berburu gelar. Berbagai cara di lakukan bahkan menjadi penjilat pun menjadi salah satu cara. Mengeluarkan uang sebanyak-banyaknya agar prosesi mendapatkan gelar sarjana di lakukan. Dengan iming-iming ‘terima kasih’ para pencari nilai rela mengeluarkan uang lebih agar tak dipersulit. Tak lebih baik dengan para birokrat bejat yang menerima uang tersebut. Wajar saja, output yang dihasilkan bukan orangorang yang siap mendidik, tetapi malah menghasilkan orang-orang yang siap menjilat. Orangorang yang siap menjadi penjilat dikemudian hari.
Tulisan ini setidaknya menjadi autokritik dan representatif dari kegalauan mahasiswa melihat ketimpangan-ketimpangan yang terjadi. Masalah-masalah dewasa ini bukan menjadi masalah satu atau dua orang. Menyuarakan ketidak-adilan khususnya di dunia kemahasiswaan haruslah menjadi pekerjaan bersama. Eko Prasetyo dengan bukunya “Bangkitlah Gerakan Mahasiswa” setidaknya menjadi tamparan bagi mereka intelektual yang hanya merenung dan berdiam diri melihat penindasan dan ketidakadilah yang melanda. Bungkam-menbungkam yang dilakukan oleh birokrat bejat haruslah di lawan.
Selain itu, dengan merawat tradisi ilmiah seperti diskusi, membaca, mengkaji dan menulis sebagai basis gerakan yang telah mati suri. Budaya literasi yang ditelan zaman harus segera dibangkitkan.
Sebagaimana Ali Syariati menegaskan sekiranya ‘Mahasiswa mampu memberi buah pikiran yang independen dan reflektif’. Karena baginya : ‘mahasiswa yang tidak sependapat dengan saya berdasarkan refeksinya sendiri adalah lebih berguna ketimbang mahasiswa yang sependapat dengan saya tanpa refleksi’. Sama dengan teman saya, bahwa ‘Dia akan lebih senang ketika melakukan kesalahan dengan kesadarannya sendiri ketimbang dia melakukan sebuah kebaikan tetapi kebaikan itu adalah hasil DIKTE’. (*)
*Penulis adalah Ismail Syam, Mahasiswa Pendidikan Antropologi FIS UNM