
PROFESI-UNM.COM – Di usia yang menginjak 45 tahun, Supriadi masih secara suka rela menjadi petugas kebersihan ruangan pegawai di Fakultas Ilmu Keolahragaan (FIK) Universitas Negeri Makassar (UNM). Kondisinya tak seperti orang pada umumnya.
Hampir seluruh anggota badannya tak mampu berfungsi normal. Pekerjaan kecil dengan penghasilan minim itu tetap saja terasa cukup menurutnya, asalkan ikhlas dan tawakkal. Ukuran besar kecil tak lagi penting asalkan selalu bersyukur dan merasa cukup.
Setiap pagi, ia berangkat ke FIK dengan menaiki bentor langgananya dan pulang dengan berjalan kaki. Terkadang dia juga diantar oleh mahasiswa yang berbaik hati padanya.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
“Saya ke FIK dengan uang 10 ribu itu pun bentor langganan saya,pulang pun begitu kadang juga diantar mahasiswa,” tuturnya dengan nada sedih.
Padahal, impiannya ialah menjadi salah satu staf pengajar di fakultas pencetak atlet tersebut. Akan tetapi, karena kondisi fisik, ia tak bisa melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi. Alhasil, ia hanya bisa menamatkan pendidikan di sekolah menengah atas.
Berlatar belakang ayah yang seorang Dosen Pendidikan Guru Sekolah Dasar Pendidikan Jasmani (PGSD Dikjas) di FIK membuatnya sempat memberanikan diri bermimpi hal yang sama. Namun, nasib malang menimpanya.
Di umur masih belia ia mengalami demam tinggi hingga menyebabkan dirinya memiliki gangguan fisik. Padahal sebelumnya, ia lahir dengan kondisi fisik sempurna.
Tak sampai disitu, tampaknya Sang Pencipta memang sedang benar-benar mengujinya. Lelaki kelahiran Bone ini, tidak menyangka di tengah kesedihannya, kedua orang tuanya begitu cepat mengahadap sang Ilahi.
Ibunya ditahun 1991 dan menyusul ayahnya tahun 2002. Hidupnya pun semakin terpuruk.
Nasib malang tersebut nyatanya tak menyurutkan semangatnya menjadi seorang dosen. Ia pun nekat mengadu nasib di kota Daeng.
Namun, kemudian ia menyadari, berbekal lulusan sekolah menengah atas dan kondisi fisik tersebut, ia tak dapat menggapai cita-citanya tersebut. Supriadi pun hanya bisa tetap tabah dan lapang dada atas segala jian yang tak ada akhirnya tersebut.
Ia pun mencoba untuk melanjutkan kehidupannya di tengah keterbatasan. Berkat kecintaannya terhadap fakultas tempat mengabdi ayahnya tersebut, akhirnya ia melamar pekerjaan sebagai petugas kebersihan.
Tentu penghasilan tak seberapa dibanding jika ia bekerja di sana sebagai staf pengajar. Sehari ia hanya memperoleh Rp 100.000. itupun jika nasib baik sedang berpihak padanya.
Jika tidak, maksimal ia hanya mendapat Rp 5.000. Tak seberapa memang, tapi Supriadi tetap bersyukur.
“Saya sangat senang membersihkan disini walaupun ga digaji saya tetap mengabdi disini,” ungkapnya. (*)
[divider][/divider]
*Tulisan ini telah terbit di Tabloid Profesi edisi 224