PROFESI-UNM.COM – Dunia jurnalistik di dunia saat ini bertansformasi dari media batu Acta De’urna zaman Romawi menjadi media digital di smartphone masa kini.
Hal ini itu dikemukakan Jurnalis Tribun Timur, Hasim Arfah pada Diklat Jurnalistik Mahasiswa Tingkat Dasar (DJMTD) 2019 di Balai DIklat Desa Badan Pemberdayaan Masyarakat (BPM) Provinsi Sulawesi Selatan, Jl Andi Djemma, Makassar, Sulsel, Kamis (30/10/2019).
Menurutnya, sejarah panjang jurnalis ini berlangsung sekitar 21 abad lalu.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Kaisar Romawi Julius Caesar (Masa kekuasaan Oktober 49 SM –15 Maret 44 SM) memperkenalkan majalah dinding terbuat dari batu bernama Acta D’urna. “Inilah karya jurnalistik pertama di dunia, Julius Caesar menyampaikan kegiatan kerajaan waktu itu,” katanya.
Selanjutnya, perkembangan jurnalistik semakin populer setelah orang-orang mesir menemukan Papipus, sekitar abad kedua sebelum masehi (SM).
Jurnalistik semakin menyebar ketika Tsai Lun, pejabat Pengadilan Tiongkok Dinasti Han abad 1 Masehi, menemukan kertas terbaru yang terbuat dari kayu dan berbagai campuran.
Dunia jurnalis semakin pesat ketika penemu asal Jerman, Johanes Gutenberg menemukan mesin cetak, tahun 1436.
Penemuan mesin ketik oleh Henry Mil pada tahun 1714 juga mempopulerkan jurnalistik. “Kala itu surat kabar awalnya dibikin melalui mesin ketik kemudian diolah sedemikian rupa untuk masuk ke mesin plat cetak,” katanya.
Puncak jurnalistik abad ke-20 adalah penemuan radio pada 1912 oleh Edwin Howard Amstrong dan TV oleh Philo Taylor Franswort 7 September 1927. “Franswort menemukan TV diumur 21 tahun, pertanyaanya adalah, pada saat umur Anda di sini 21 tahun sudah menemukan apa?” katanya.
Mantan Pemimpin Redaksi LPM Profesi UNM ini mengungkapkan perkembangan media digital mengubah ketertarikan pembaca.
Menurut Hasim Arfah, saat ini, setiap orang lebih banyak membaca media digital baik itu portal berita dan media sosial ketimbang media cetak.
Menurut survei Nielsen, Tahun 2017, masyarakat cenderung beranggapan bahwa informasi seharusnya bisa didapat secara gratis.
Pada 2017, tingkat pembelian koran secara personal hanya sebesar 20%, menurun dibandingkan 2013 yang mencapai 28%.
Nielsen Consumer & Media View (CMV) menunjukkan bahwa di Indonesia, pertumbuhan kepemilikan smartphone yang mencapai 250% dalam lima tahun terakhir (2014-2019).
Studi Nielsen AdvertisingIntelligence (Ad Intel) pada kuartal kedua 2019 menunjukkan bahwa porsi belanja iklan di media digital cukup besar di tiga kategori, yaitu 25% untuk kategori Layanan Online, 20% untuk kategori Perangkat Komunikasi dan 6% untuk kategori Makanan Instan / Mi Instan.
“Kehadiran media digital mengubah persepsi pembaca akan media. Orang saat sudah bisa menjadi wartawan. Mereka sudah punya media masing-masing bernama media sosial,” kata Pengurus Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Sulsel ini.
Baca juga:
Profesi UNM, Sejarah Panjang Pencetak Jurnalis Top di Makassar
WR I UNM Muharram Ajak LPM Profesi UNM Sinergi di Pembukaan DJMTD 2019
Lalu dimana saat ini peran jurnalis media mainstream?
Hasim Arfah menganggap kelebihan para jurnalis profesioanal ada kemampuan verifikasi. “Warga biasa tak bisa melakukan verifikasi langsung ke pejabat,” katanya.
Media sosial seperti Instagram dan Youtube menjadi media untuk anak milenial. “Sehingga, jurnalis kampus dan pers mahasiswa harus bisa mengembangkan Youtube dan Instagram,” katanya.
Menurutnya, Profesi sudah on the track dalam berubah dari media konvesional seperti cetak ke media digital seperti portal berita profesi-unm.com dan Profesi TV di Youtube.
“Saat ini pengelola Profesi, sisa terus berinovasi untuk mengisi Profesi TV dengan konten fresh dan kreatif,” katanya.
Peserta Antusias Tanya Soal Hoax di Medsos
Sebanyak 105 peserta dari berbagai fakultas mengikuti DJMTD LPM Profesi UNM 2019.
Peserta banyak mempertanyakan tentang berita bohong atau hoax di media sosial.
Peserta dari mahasiswa Psikologi UNM, Irfan mempertanyakan tentang maraknya hoax di media sosial.
“Sekarang ini hoax banyak beredar melalui media sosial, mengapa itu bisa beredar saat ini, kemudian apakah itu bisa diberitakan,” katanya.
Hasim Arfah pun menjawab media hoax benyak beredar karena tak ada penyaringan di medsos oleh pemikil atau editor dari medsos.
“Tak ada editor atau screening (penyaring), Anda bisa langsung mengupload, kalau Anda tak setuju maka setiap media sosial menyediakan tombol untuk melaporkan sebagai SPAM,” kata Hasim Arfah.
Sementara itu, Mahasiswi dari Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alama (MIPA) mempertanyakan cara media mainsteam bertahan di tengah media sosial dan banyak warga sudah bisa melaporkan ke media sosial masing-masing.
“Bagaimana cara media saat ini bertahan di tengah masyarakat sudah mengerjakan kerja-kerja jurnalistik?” tanyanya.
Hasim Arfah menjawab kelebihan media mainstream saat ini adalah kemapuan verifikasi berita kepada pihak berwenang.
“Misalnya, ketika ada perkelahian maka, Anda sebagai masyarakat biasa tak bisa memverifkasi kebenaran berita ini. Kalau jurnalis bisa memverikasi berita ke pihak berwenang seperti lurah, kepolisian dan penguasa wilayah,” katanya.
(*)
Lihat video Bincang DJMTD Via Profesi TV
Like dan Follow Instagram Profesi UNM
*Reporter: Andi Dela Irmawati