PROFESI-UNM.COM – Pertunjukan teater yang bertemakan The Eyes of Marege yang digelar di Anjungan Pantai Losari Makassar dalam rangka memperingati Hari Kebudayaan Makassar diangkat dari kisah terdahulu orang-orang Makassar yang menikah dengan suku Aborigin di Australia yang terjadi ratusan tahun lalu, Sabtu (29/4).
Drama dengan latar tahun 1905 sampai tahun 1907 ini mengambil setting Makassar dan Arnhamland (Northern Territory), bagian utara Australia. Tahap awal digambarkan kedatangan nelayan Makassar ke Arnhamland yang sudah berlangsung ratusan tahun dan telah melahirkan rasa persaudaraan dan bahkan ikatan perkawinan di antara orang Makassar dengan orang Yolngu atau Aborigin.
Tahap komplikasi dilukiskan ketika pria muda Aborijin bernama Birramen membunuh nelayan Makassar bernama Kasim karena membela diri. Pasalnya, tas ‘keramat’ milik Birramen yang tertinggal di pantai ditemukan (dicuri) oleh Kasim dan telah membentuknya menjadi keranjang perangkap ikan. Karena tas itu baginya bukan tas biasa melainkan tas upacara inisiasinya yang penuh roh dan impiannya. Para tetua Yolngu dan orang-orang Makassar sepakat Birramen diadili di Makassar.
Tahap penyelesaian, setiba di Makassar, Birramen dibebaskan dan dinikahkan dengan perempuan Makassar Bernama Fatima dan disaksikan oleh Ahmad dan istrinya Dhalawal.
Sutradara The Eyes of Marege Asia Ramli Prapanca yang juga dosen Fakultas Seni dan Desain (FSD) Universitas Negeri Makassar (UNM), mengatakan Pertunjukan Teater The Eyes of Marege (TEoM) merajut sejarah, pengalaman dan cerita rakyat hubungan sosial-budaya suku-bangsa Makassar dengan Yolngu (Aborigin/Marege). Pertunjukan ini mengangkat tema persaudaraan, multicultural dan lintas budaya yang arahnya untuk menjalin kembali persahabatan dan persaudaraan orang Makassar (Indonesia) dan Aborijin (Australia) yang pernah pernah terjadi 400 ratus tahun yang lalu dan putus pada tahun 1907.
“Pertunjukan teater ini menyirat sejarah hubungan social budaya antar suku Makassar dengan Aborigin. Pertunjukan ini pula mengangkat tema persaudaraan dan multicultural antara kedua suku yang pernah terjadi ratusan tahun yang lalu,” tuturnya.
Lebih lanjut, Asia Ramli menjelaskan bahwa didalam pertunjukan mengandung nilai-nilai budaya Makassar yang menegaskan nilai siri’na pacce, tau sipakatau, pangngadakkang, dan nilai-nilai Islam yang diwujudkan ke dalam teks dramatic dan teks pertunjukan sehingga tema persaudaraan, kegotong-royongan, ikatan perkawinan dalam bingkai multicultural dan lintas budaya termanusiakan.
“Dalam pertunjukan itu, ada banyak pelajaran yang tersirat didalamnya, serta mengandung nilai dan unsur budaya Makassar seperti siri’na pacce, tau sipakatau, dan pangngadakkang,” jelasnya. (*)
*Reporter: Aliefiah Maghfirah Rahman