PROFESI-UNM.COM – Di era digital yang serba cepat, minat baca mahasiswa dinilai mulai menurun. Buku-buku fisik kian sepi peminat, tergeser oleh konten instan di media sosial. Padahal, membaca adalah fondasi penting bagi kemampuan berpikir kritis dan daya analisis mahasiswa.
Fenomena ini terlihat dari minimnya kunjungan ke perpustakaan kampus, rendahnya antusiasme diskusi buku, hingga sulitnya mahasiswa memahami literatur akademik. Banyak dari mereka mengaku lebih sering membaca ringkasan di internet daripada membaca sumber utama secara menyeluruh.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Melihat kondisi ini, sejumlah kampus dan komunitas literasi mulai menggagas gerakan seperti klub baca, bedah buku, hingga perpustakaan digital gratis.
Tujuannya tak lain untuk menghidupkan kembali semangat membaca di kalangan mahasiswa, tak hanya untuk tugas kuliah, tetapi juga sebagai kebutuhan berpikir dan berkembang.
Selain itu, penggunaan platform seperti Google Books, iPusnas, dan Z-Library juga dapat menjadi jembatan untuk mengakses bacaan secara lebih praktis dan ekonomis.
Membaca tak harus selalu tebal dan rumit. Dengan konsistensi membaca sedikit demi sedikit, mahasiswa bisa melatih fokus, memperkaya wawasan, dan memperkuat daya pikir.
Karena kampus yang literat bukan sekadar tempat mengejar gelar, tapi juga ruang tumbuhnya generasi yang berpikir tajam dan berwawasan luas.
Kampanye literasi juga bisa dimulai dari lingkungan kecil seperti organisasi mahasiswa, komunitas fakultas, atau bahkan media kampus. Mengadakan tantangan membaca 30 hari, membuat ulasan buku, atau membagikan kutipan inspiratif bisa menjadi langkah sederhana yang berdampak besar.
Di tengah dunia yang penuh informasi instan, mahasiswa perlu kembali menyadari bahwa membaca adalah investasi jangka panjang.
Sebuah buku bisa mengubah cara pandang, membentuk karakter, bahkan menginspirasi langkah hidup. Dan literasi bukan sekadar tren, tapi kebutuhan pokok mahasiswa yang ingin bertumbuh dengan arah yang jelas. (*)
*Reporter: Nur Mardatillah