
Mahasiswa Fakultas Psikologi (FPsi) Universitas Negeri Makassar (UNM) membuat inovasi untuk orang-orang yang mengalami trauma broken home dengan menggunakan Art Therapy. Art Therapy sendiri adalah cara pemulihan yang dikerjakan dengan melahirkan sebuah karya yang kreatif.
Teknik Art Therapy yang digunakan sebagai pemulihan ini sangat bermanfaat dalam meningkatkan nilai kebahagiaan hidup, dapat menuntun individu merasakan dan berfikir tentang apa yang terjadi pada masa kini ketika membuat arti dari pengalaman yang dipermasalahkan. Pada Art Therapy ini diperuntukkan kepada orang-orang yang mempunyai trauma masa kecil dan broken home.
Art Therapy ini subjeknya adalah remaja yang mengalami broken home, penelitiannya berlokasi di Makassar dengan total delapan jumlah pertemuan hingga kondisi trauma para partisipannya menurun.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Nafizah, ketua tim yang membuat inovasi ini mengatakan Art Therapy ini sebagai media katarsis bagi orang yang memiliki trauma broken home ataupun inner child, media yang dimana, mereka bebas untuk mengekspresikan apapun itu. Ia juga mengatakan karena trauma inner child adalah hal yang berkembang yang mereka bawa sejak kecil hingga saat ini.
“Art therapy ini kayak sebagai media ketenangan mereka, media dimana mereka bebas mengeksperesikan apapun yang mereka mau ceritakan tapi susah diungkapkan kalau lewat katakata,” tuturnya.
Lebih lanjut, Nafizah juga menjelaskan mengenai inner child adalah sesuatu yang masih sering diabaikan oleh banyak orang, sehingga hal tersebut yang menjadikan orang yang mengalaminya terus terbawa hingga dewasa, dan akan sangat memungkinkan jika nantinya mereka menurunkan ke anak-anaknya jika mereka belum berdamai dengan dirinya sendiri.
“Apalagi inner child itu terkadang menjadi hal yang sering diabaikan dan tidak menutup kemungkinan trauma yang mereka rasakan bisa tercycle lagi ke anakanaknya karena mereka belum berdamai dengan diri mereka,” jelasnya.
Mahasiswa Angkatan 2020 ini menjelaskan bahwa Art Therapy bisa mengungkapkan emosi para penderitanya karena ingin mendapatkan sentuhan langsung dan bisa langsung mengungkapkannya, ini menjadi alasan memilih Art Therapy menjadi pengobatan untuk menurunkan trauma. Ia juga mengatakan bahwa selain dari Art Therapy menurutnya kurang menyentuh langsung ke diri para penderita. Sedangkan jika menggunakan metode terapi menulis tidak semua penderita trauma suka dengan menulis. Jadi mereka mencari hal yang bisa membuat penderita trauma merasa asyik dan menyenangkan, serta dapat mengungkapkan emosi.
“Art therapy itu kan mereka bisa ungkapkan emosinya mereka karena yang kami ingin sentuh itu hal yang ingin mereka ungkapkan namun susah. kenapa bukan terapi musik dan lainnya? pertama untuk terapi musik itu kan tidak menyentuh ke diri mereka mungkin bisa memberi ketenangan jadi menurut kami masih kurang tepat. kedua, kalo misal journaling atau expressive writing itu yah tidak semua orang suka menulis jadi kami cari intervensi yang menyenangkan dan mengasyikkan sekaligus bisa jadi media mereka ungkapkan emosi mereka apalagi targetnya kami remaja,” jelasnya.
Selanjutnya, mengenai metode penerapan yang tim berikan kepada penderita trauma dengan delapan sesi pertemuan untuk menggambar, tiga sesi menggambar secara bebas, tiga sesi menggambar dengan tema-tema seperti pengalaman tidak menyenangkan, pengalaman menyenangkan, situasi lingkungan, dan dua sesi mewarnai mandala.
Penelitian Art Therapy untuk menurunkan trauma inner child yang dilakukan mahasiswa psikologi ini dilaksanakan selama empat bulan. Tahap persiapan untuk mempersiapkan modul, skala dan sebagainya selama satu bulan, dan pelaksanaan pertemuan kepada para remaja penderita trauma broken home dan inner child selama tiga bulan.
Terakhir, Nafizah mengatakan semua kondisi traumatis partisipan berhasil menurun dengan menggunakan metode Art Therapy ini. “Tiga dan semuanya turunki kondisi traumanya,” tuturnya.(*)
*Tulisan ini telah terbit di Tabloid Edisi 268 November 2023