Perihal Omnibus Law, UNM Plin-plan
Universitas Negeri Makassar (UNM) sebagai kampus pencetak tenaga pendidik masih terombang-ambing dalam mengambil sikap menolak atau mendukung klaster pendidikan di UU Ciptaker. Menurut Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan dan Alumni (WR III), Sukardi Weda, pada Sabtu, 17 Oktober lalu Direktorat Jendral (Dirjen) Kemendikbud bersama beberapa rektor universitas menggelar kajian mengenai UU Ciptaker ini.
Kajian yang dilakukan di Rumah Jabatan (Rujab) gubernur ini diikuti juga oleh UNM, hal ini bertujuan untuk bisa memahami lebih dalam mengenai UU Ciptaker. Karena menurutnya UNM tidak bisa mengambil kesimpulan tanpa fakta dan bukti yang lengkap.
“Kita juga menghindari agar tidak termakan isu-isu hoax dan supaya jalan yang kami pilih benar, seperti yang dilansir oleh Kompas TV, sekelas Humas Polri pun tak memegang draf asli UU Omnibus Law, karena lucu rasanya sekelas UNM yang melahirkan bakat tenaga pendidik mengambil keputusan secara langsung tanpa ada pertimbangan sesuai fakta,” katanya.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Namun karena saat itu belum ada draft UU yang resmi maka UNM belum bisa mengambil keputusan untuk mendukung atau menolak. Masih Sukardi, Ia menyayangkan tidak ada satu orang pun yang memegang draft UU ini saat melakukan pengkajian pada setiap pasal yang ada. Sehingga penilaiannya pun menimbulkan kecurigaan karena masih banyak perubahan walaupun telah diketok palu.
“Saat sosialisasi atas pengkajian ini mestinya mereka memiliki draf asli untuk memastikan bahwa hal yang ada di draft itu dapat dinilai baik atau jelek. Ini yang membuat mahasiswa melakukan aksi dimana-mana karena keputusan draft yang telah diketuk palu masih banyak perubahan dan penghilangan pasal pada UU tersebut,” keluhnya.
Ia juga menilai seharusnya saat palu sidang telah diketuk untuk mengsahkan UU, maka tidak boleh ada kalimat di UU tersebut diubah ataupu dihapus tanpa sosialisasi dengan elemen masyarakat. Baginya bila UU Ciptaker ini bagus maka harus melibatkan berbagai elemen seperti kampus untuk ikut mensosialisasikan pentingnya UU Omnibus Law Ciptakerja tersebut.
“Bila UU ini dianggap bagus karena membuka lapangan kerja hingga kemudahan investasi maka perlu disosialisasikan ke dalam kampus agar tidak terjadi kerancuan. Adapun kekeliruan terhadap UU ini karena terlalu banyak revisi sehingga kami masih mencari yang nyata, agar tidak ada lagi yang terkena PHK, Izin cuti seenaknya dan peraturan jam kerja harus dipatuhi,” jelasnya.
Tak jauh berbeda, Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP), Abdul Saman juga tidak ingin bicara banyak mengenai klaster pendidikan pada UU Ciptaker ini. Karena menurutnya hal ini bukan bidangnya untuk berkomentar. “Tidak mau ka bicara itu, karena bukan bidang ku,” katanya.
Namun, berbeda dengan Presiden Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Seni dan Desain (FSD), Agustianto Kadir, Menurutnya tanpa Omnibus Law komersialisasi pendiidkan sejak dulu telah merajalela. Jadi jika pada UU ini dimuat juga klaster pendidikan maka mahasiswa harus bersiaga karena Perguruan Tinggi (PTN) akan menjadi lahan bisnis para investor asing. Terutama bagi PTN berstatus PTN BLU ataupun PTN BH.
“Tapi sebenarnya tanpa Omnibus Law komersialisasi pendidkan sudah merajalela, dan jika memang benar ada klaster pendidkan di Omnibus Law yah siap-siap saja perguruan tinggi menjelma menjadi lahan bisnis. Apa lagi jika perguruan tinggi tersebut sudah menyandang status PTN BLU atau PTNBH,” katanya.
Pakar Nilai Tidak Cocok di Indonesia
Guru Besar Ilmu Administrasi dan Publik Universitas Negeri Makassar (UNM), Haedar Akib, ikut berkomentar terkait pengesahan Undang-Undang Omnibus Law Ciptaker. Namun Ia lebih menyoroti alasan dibuatnya Omnibus Law ini. Menurutnya tidak cocok menggeneralisasikan aturan di negara hukum yang besar karena bernegara mencakup banyak hal sehingga perlu banyak aturan agar bernegara bisa dilakukan dengan baik.
“Apalagi ketika menggeneralisasi atau ‘meng-omnibus,’ dengan kata lain, bernegara tak sesimpel iklan ‘apapun makanannya minumnya teh botol sosro’ atau apapun hukumnya tergantung peneguknya,” katanya.
Lebih lanjut, Ia menjelaskan bahwa ilmu administrasi dan pengembangan organisasi seringkali lebih cepat daripada aturan. Sama halnya Omnibus Law, fenomena akuisisi dan merger juga ramai dilakukan, hal-hal seperti ini menurutnya seringkali memunculkan oligopoli dan monopoli.
Karena belakangan aturannya dibuat justru cenderung menghambat dinamika perilaku individu dan institusi (organisasi). Ia juga menyoroti kinerja dari pembuat kebijakan yang seringkali bermasalah.
“Ilmu administrasi dan kebijakan publik, yang dalam hal tertentu dipahami sebagai kajian terhadap peraturan memahami prakondisi/syarat berupa value (nilai dasar dan orientasi nilai), arena/konteks/lokus, perspektif, action, strategi, dan aktor/semangat penyelenggaranya. Namun kinerja aktor penyelenggalah yang selama ini di negara hukum seperti Indonesia, yang justru bermasalah,” jelasnya.
Ia turut menjelaskan pentingnya untuk memiliki semangat terhadap aturan dengan menyusun aturan secara terbuka dan melibatkan publik, hal ini agar aturan tersebut bisa bernilai tinggi bagi publik.
Baginya hal ini sangat penting dimiliki oleh penyelenggara negara sebagai pembuat aturan dan warga negara sebagai yang menjalankan aturan tersebut. Ilmu Adiministrasi Publik (IAP) sangat menyarankan hal ini karena akan bermanfaat besar nantinya.
“IAP sejak lama mengajarkan perlunya KISS-MIS (koordinasi, integrasi, sinkronisasi, simplifikasi berbasis management information system) untuk menciptakan values for public,” katanya.
Mengenai klaster pendidikan yang ada di UU Ciptaker, Ia berpandangan seharusnya sekarang ini nilai untuk kepentingan publik harus diutamakan, apalagi berhubungan dengan pendidikan. Nilai untuk kepentingan public di era society 5.0 harus meliputi berbagai prinsip seperti kreativitas, integritas dan lain-lain.
Namun, prinsip nilai ini sering menjadi jalan masuk komersialisasi pendidikan, karena motifnya seringkali merusak tetanan nilai. Dan bila nilai-nilai ini disalah pahami akan terjadi komersialisasi dan transaksional dalam tata kelola bidang ataupun penyelenggaraan pendidikan.
“Nilai untuk kepentingan publik di era society 5.0 ini meliputi, antara lain, prinsip nilai kreativitas (dan inovasi sebagai basis kewirausahaan sebagai visi UNM), integritas, responsibilitas, akuntabilitas, efektivitas (termasuk di dalamnya efisiensi), akseptabilitas (keberterimaan), aksesibilitas, kredibilitas, kapabilitas, kapasitas, elektabilitas, dan akhiran tas-tas lainnya, kecuali ‘isi tas.’ Karena prinsip nilai atau motif yang terakhir inilah yg merusak tatanan karena bernuansa ‘komersial’ dan transaksional,” jelasnya. (*)
*Tulisan ini telah terbit di Tabloid Profesi edisi 243
Halaman : 1 2