
PROFESI-UNM.COM – Berapa banyak pengorbanan yang dibutuhkan dalam membuat sebuah skripsi?, waktu yang digunakan, pikiran serta tenaga yang tercurah, juga uang selama proses pembuatan. Tak terhitung jumlahnya. Tapi, bagaimana rasanya jika melihat tumpukan karya tersebut, malah dihargai sebesar sebuah kertas bekas?.
Mungkin seperti itulah sakit yang dirasakan para alumni Fakultas Bahasa dan Sastra (FBS) Universitas Negeri Makassar (UNM). Tatkala melihat tumpukan skripsi yang diangkut oleh sebuah mobil pick-up menuju tempat penimbangan barang bekas. Hal tersebut bermula ketika media anonim bernama Realita Kampus Ungu mengunggah foto itu.
Mengenai persoalan itu, Presiden Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) FBS periode 2017-2018, Fatmiati Nur, mempertanyakan sikap birokrasi yang menimbang skripsi karya mahasiswa. Terlebih peraturan yang mengharuskan banyaknya skripsi dicetak, sehingga menumpuk di ruang Prodi.
“Kalau dibilang wajar, yah wajar karena sudah menumpuk. Tapi kenapa peraturannya harus dibuat banyak, padahal cuman mau ditumpuk?,” paparnya.
Wanita asal Makassar ini, juga menyarankan agar pihak fakultas dapat beralih bentuk elektronik. Terlebih untuk skripsi yang hanya akan diberikan pada dosen pembimbing. Sehingga skripsi fisik hanya akan disetor ke pihak perpustakaan saja.
“Saran saya kita beralih ke elektronik saja. Kalau untuk dosen pembimbing kan bisa dikirim online, ketimbang nyampah saja. Kalau bentuk papernya kan cuman untuk perpustakaan saja,” saranya.
Sementara itu, pihak perpustakaan FBS tidak ingin berkomentar terkait hal ini. Saat wartawan profesi mendatangi salah seorang pegawai, ia pun menolak untuk memberi tanggapan dengan alasan tidak mempunyai wewenang.
Di sisi lain, Pembantu Dekan Bidang Akademik (PD I) FBS, Ramli membenarkan adanya pengangkutan skripsi oleh mobil pick-up. Namun hal ini dilakukan untuk mengurangi porsi jumlahnya sekaligus mengurangi skripsi lama. Menurutnya, hal ini justru tidak harus dipermasalahkan sebab skripsi itu juga tersedia dalam bentuk elektronik.
“Memang ada. Kalau skripsi 20 tahun yang lalu disimpan, mau digunakan untuk apa?. Kan ada bentuk elektroniknya, kalau butuh tinggal ambil di situ,” tuturnya
Lanjut, ia juga menanggapi pembuatan skripsi dengan eksamplar yang banyak dilakukan karena telah merupakan standar dari fakultas. Meski skripsi dalam bentuk elektronik telah ada. Namun menurutnya, bukan berarti skripsi dalam bentuk paper harus dihilangkan.
“Dibuat sebanyak itu, karena sudah begitu ketentuanya. Memang ada elektronik, tapi tidak bisa juga kita hilangkan bentuk paper. Apa gunanya perpustakaan kalau tidak ada arsip fisiknya,” lanjutnya. (*)
[divider][/divider]
*Tulisan ini telah terbit di Tabloid Profesi edisi 223