PROFESI-UNM.COM – Rebahan sering kali dianggap sebagai simbol kemalasan. Namun bagi sebagian mahasiswa, rebahan justru menjadi cara efektif untuk meredakan stres, memulihkan energi, dan menenangkan pikiran dari tekanan akademik dan sosial yang terus-menerus datang.
Alih-alih bermalas-malasan, banyak mahasiswa menggunakan waktu rebahan untuk refleksi diri, menyusun rencana, hingga mencari inspirasi. Mereka mendengarkan podcast pengembangan diri, membaca buku elektronik, atau menonton film sebagai bentuk pelarian sementara yang tetap memberi manfaat emosional.
Gaya hidup ini sejalan dengan konsep slow living yang kini populer di kalangan Gen Z. Mahasiswa mulai menyadari pentingnya hidup seimbang, bukan sekadar produktif tanpa henti. Mereka memilih untuk melambat saat tubuh dan pikiran mulai lelah, lalu kembali melaju saat sudah siap. Rebahan menjadi jeda yang menyelamatkan, bukan hambatan.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Namun, tekanan untuk terus sibuk tetap menghantui. Banyak mahasiswa merasa bersalah saat memilih untuk rebahan, apalagi ketika media sosial dipenuhi unggahan pencapaian, produktivitas, dan jadwal yang padat. Perasaan guilt ini sering muncul karena anggapan bahwa waktu istirahat adalah waktu yang terbuang.
Padahal, istirahat juga bagian dari proses belajar dan bertumbuh. Tubuh dan pikiran membutuhkan waktu untuk memulihkan diri agar bisa kembali fokus dan kreatif. Mahasiswa yang bisa mengenali batas energinya cenderung lebih stabil dan tidak mudah burnout. Rebahan yang dilakukan secara sadar menjadi bentuk self-care yang tidak kalah penting dibanding kegiatan produktif lainnya.
Rebahan berkualitas bukan soal berapa lama seseorang berbaring, tapi bagaimana ia memaknai waktu istirahat sebagai bagian dari menjaga kewarasan. Di tengah tuntutan kampus dan dunia yang serba cepat, mahasiswa perlu ruang untuk berhenti sejenak, bukan karena malas, tapi karena ingin tetap waras.
Di balik kasur, bantal, dan layar ponsel, mahasiswa menemukan ruang sunyi yang memberi jeda untuk bernapas. Barangkali justru dalam keheningan rebahan itulah, mereka kembali terhubung dengan diri sendiri dan memahami bahwa diam juga bisa menjadi bentuk keberanian. (*)
*Reporter: Nur Mardatillah