PROFESI-UNM.COM – Negara Indonesia menganut sistem pemerintahan presidensial, di mana sistem ini badan eksekutif dan legislatif memiliki kedudukan yang independen. Untuk dapat melihat secara komprehensif kelebihan dan kelemahan pelaksanaan sistem pemerintahan negara Republik Indonesia, dapat kita ketahui melalui penjelasan berikut ini.
- Kelebihan
Dalam pemerintahan negara RI terdapat kelebihan yakni:
- Adanya pernyataan bahwa Indonesia adalah negara berdasar atas hukum dan sistem konsti- tusional. Hal ini telah memberikan kepastian hukum dan supremasi hukum dalam penyeleng- garaan pemerintahan negara.
- Majelis Permusyawaratan Rakyat, yang terdiri dari anggota DPR, Utusan Daerah, dan Utusan Golongan (sekarang DPR dan DPD), berwenang mengubah UUD dan memberhentikan Presiden/ Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut UUD. Hal ini pernah dilakukan karena Presiden dinilai telah melanggar haluan negara atau UUD 1945. Contoh: Presiden Soekarno (1967), Presiden B.J. Habibie (1999), dan Presiden K.H. Abdurahman Wahid (2002).
- Jabatan Presiden (eksekutif) tidak dapat dijatuhkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan sebaliknya Presiden juga tidak dapat membu- barkan DPR. Presiden bekerja sama dengan DPR dalam pembuatan Undang-Undang.
- Jalannya pemerintahan cenderung lebih stabil karena program-program relatif lancar dan tidak terjadi krisis kabinet. Hal ini dimungkinkan karena kabinet (menteri-menteri) yang diangkat dan diberhentikan Presiden hanya bertanggung jawab kepada Presiden. Menteri-menteri adalah pembantu Presiden.
- Kekurangan
Selain kelebihan tersebut, terdapat pula kekurangan dalam sistem pemerintahan RI yaitu:
- Produk hukum belum banyak memihak kepentingan rakyat, demikian juga aparat penegak hukum (polisi, jaksa, dan hakim) yang masih belum bekerja (beberapa oknum) secara profesional sehingga dapat diajak berkolusi
- Majelis Permusyawaratan Rakyat yang anggota- anggotanya terdiri atas anggota DPR, Utusan Daerah dan Utusan Golongan (sekarang DPR dan DPD), merupakan lembaga negara yang sarat dengan muatan politis sehingga keputusan maupun ketetapan-ketetapannya sangat bergantung kepada konstelasi politik rezim yang berkuasa pada saat itu. Contoh, pada masa Orde Baru, wewenang MPR untuk mengubah UUD tidak pernah dilakukan, meskipun banyak suara- suara rakyat yang menghendaki amandemen. Keputusan politik masa itu ialah dikeluarkan- nya Ketetapan MPR No. IV/MPR/1983 tentang Referendum bila ingin mengubah UUD 1945.
- Pengawasan rakyat terhadap pemerintah kurang berpengaruh, sehingga ada kecende- rungan eksekutif lebih dominan bahkan dapat mengarah ke otoriter. Contoh, pada masa Orde Lama, Presiden dapat membubarkan DPR dan lembaga-lembaga negara lain tidak berfungsi bahkan seakan menjadi pembantu presiden. Demikian juga pada masa Orde Baru, meskipun ada lembaga-lembaga negara lain namun kurang berfungsi sebagaimana mestinya.
- Jika para menteri tidak terdiri dari orang-orang yang jujur, bersih, dan profesional, program- program pemerintah tidak berjalan efektif dan populis (berpihak kepada rakyat). Hal ini akan berakibat munculnya arogansi kekuasaan, salah urus, dan tumbuh suburnya korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Secara umum hal ini terjadi pada masa pemerintahan Orde Baru, meskipun harus diakui adanya keberhasilan di bidang pembangunan fisik.
Tulisan ini dikutip di Buku “Pendidikan Kewarganegaraan” Oleh Budiyanto pada halaman 62-81, dan diterbitkan oleh PT Gelora Aksara Pratama, Jakarta. (*)
*Reporter: Firmansyah