Hidup mahasiswa!
Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Indonesia (UI) menunjukkan kritikannya melalui meme berupa video pendek yang menggambarkan ilustrasi gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) terbelah. Kemudian muncul dua ekor tikus yang tertempel pada wajah Puan Maharani dari atap kantor DPR. Video itu juga disertai tulisan dengan huruf kapital “KAMI TIDAK BUTUH DEWAN PERAMPOK RAKYAT”. Video pun ditutup dengan gambar salinan Perpu Cipta Kerja yang perlahan terbakar.
Inilah puncak kemarahan dan kekecewaan yang ditunjukkan kepada anggota DPR. Wakil rakyat dengan jelas telah mengabaikan aspirasi masyarakat yang menolak Perpu Cipta Kerja. Pro dan Kontra atas meme tersebut pasti ada. Bukankah sudah tabiat negeri demokrasi bahwa setiap orang bebas mengutarakan pendapatnya?
Penolakan terhadap rancangan UU yang dikeluarkan pemerintah sudah berulang kali terjadi. Aksi besar-besaran sudah sering dilakukan. Berkaca dari masa lalu, sepatutnya kita belajar bahwa tak cukup menolak Perpu saja. Memang benar kita tidak boleh bosan dalam mengkritisi, tapi sampai disini tidakkah para mahasiswa tersadarkan bahwa ini adalah kerusakan sistemik?
Patut diapresiasi perjuangan dan keberanian yang dilakukan para mahasiswa, namun tak cukup sampai disitu. Akankah penolakan terhadap Perpu dapat menjadi solusi tuntas?
Tak cukup menolak UU Ciptaker
Bercokolnya sistem kapitalisme dalam setiap sendi kehidupan masyarakat harus diarahkan pada berfikir sistemik. Sebagai agent of change, mahasiswa harus memiliki sikap menuju arah perubahan. Namun, sikap kritis para mahasiswa harus lahir karena kesadaran. Kesadaran pada bobroknya sistem yang diterapkan hari ini.
Tak heran jika UU yang lahir akan selalu mementingkan kepentingan segelintir orang yang diambil dari kepentingan pemilik modal. Para kapital atau pemilik modal memiliki peran penting dalam konstalasi politik negeri. Biaya pemilu yang melangit, kongkalikong pejabat dan penguasa, terjadinya perselingkuhan antar wakil rakyat sudah menjadi hal lumrah kita temui.
Belum lagi kasus korupsi yang sudah menjadi hal biasa, maka tak heran DPR bukan lagi disebut Dewan Perwakilan Rakyat, tetapi Dewan Perampok Rakyat. UU Ciptaker yang disahkan pun banyak merugikan rakyat.
Kerusakan sistem tersebut akan terus melahirkan permaslahan-permasalahan, sebab aturannya berasal dari akal manusia yang terbatas. Setiap orang pasti akan mengambil apa yang bermanfaat untuknya. Pandangan manusia antara satu dengan yang lain berpotensi menimbulkan ketidakcocokan. Maka asas demokrasi yang katanya dari rakyat, untuk rakyat dan oleh rakyat memang berpotensi mengalami benturan antara satu dengan yang lain. Tapi nyatanya pun kepentingan para pemilik modal diatas segalanya.
Jika kita memahami secara mendalam, tak cukup dengan menolak UU Ciptaker. Kerusakan yang didasari dari sistem yang diterapkan harus diatasi dengan sistem juga.
Solusi Sistem yang berasal dari Sang Pencipta
Islam bukanlah sekadar agama yang mengatur ibadah ritual. Islam adalah pandangan hidup yang memecahkan problem kehidupan manusia. Islam mengatur hubungan manusia dengan pencipta, hubungan manusia dengan dirinya sendiri, dan hubungan manusia dengan manusia lain. Begitu pula dalam pemerintahan.
Dalam Islam, terdapat tiga pilar penting yang menopang jalannya pemerintahan, yakni ketakwaan individu, kontrol masyarakat, dan negara (Khilafah) yang menjalankan aturan. Aturan yang ada bukanlah buatan manusia. Aturan dalam sistem pemerintahan Islam hanya bersumber dari hukum syariat.
Melakukan komparasi sistemis Islam versus kapitalisme dalam kerangka isu UU Cipta Kerja tentu membutuhkan ruang dan durasi yang lebih banyak. Akan tetapi, membangkkitkan kembali kerangka berpikir sistemis di kalangan intelektual adalah kebutuhan mendesak. Mahasiswa adalah entitas khas yang memiliki peran penting dalam perubahan. Mahasiswalah para penggagas perubahan, menuju perubahan sistemik.
Wallahualam. (*)
*Penulis adalah Musdalifah, Mahasiswa Teknologi Pendidikan angkatan 2018.