[OPINI] Pendidikan yang Membungkam : Saat Instansi Pendidikan Membentuk Komoditas Tanpa Imajinasi

Avatar photo

- Redaksi

Sabtu, 3 Mei 2025 - 21:56 WITA

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

PROFESI-UNM.COM – Instansi pendidikan idealnya adalah tempat yang mampu menghadirkan para cendikiawan yang mampu berkontribusi didalam banyak aspek sosial, yang mampu memerdekakan manusia, yang juga menghadirkan pendidikan tidak untuk mengatur namun membimbing manusia agar menjadi manusia merdeka, hal ini  dicita-citakan oleh Ki Hajar Dewantara dengan konsep “Pendidikan untuk kemerdekaan”.

Kemerdekaan dalam konteks Pendidikan adalah dimana manusia tidak dibelenggu isi kepalanya untuk menjadi apa yang kurikulum katakan namun memberikan kebebasan untuk menjadi dirinya yang paling “Autentik”, bukan hasil dari apa yang diseragamkan, maka dari itu Ki Hajar Dewantara tidak mengatakan untuk mengatur manusia menjadi manusia namun membimbing manusia menjadi manusia merdeka.

Sayangnya, pendidikan masa kini tidak berbicara untuk memerdekakan pemikiran manusia namun berusaha mengseragamkan pemikiran dengan berdalih memerdekakan, instansi pendidikan cenderung membentuk sistem yang tidak ingin diganggu demi stabilitas yang dijaga sehingga kritik tidak jarang dilihat sebagai sebuah pembangkangan, mereka yang berfikir berbeda akan dihakimi dan dianggap Radikal dalam “Society”.

ADVERTISEMENT

ads

SCROLL TO RESUME CONTENT

Instansi pendidikan hari ini membuat anda berfikir bahwa semakin tinggi pendidikan anda maka semakin mungkin anda mendapatkan pekerjaan yang layak, dan nahasnya paradigma yang seperti ini mudah diterima di masyarakat kita dan menganggap hal ini masuk akal, sayangnya hal ini tidak sepenuhnya benar sebab pandangan tersebut mereduksi esensi Pendidikan yang berusaha memerdekakan manusia dalam berfikir, juga mengabaikan dimensi sosial dan kultural, dengan menggunakan pandangan itu manusia tidak menjadi subjek dalam instansi pendidikan namun menjadi “Komoditas” yang diproduksi hanya berjutuan untuk memenuhi kebutuhan pasar kerja. Pertanyaan yang kemudian muncul, masihkah instansi pendidikan memerdekakan atau membungkam?

Pendidikan sebagai Instrumen kekuasaan

Dalam pandangan Friedrich Nietzsche, pengetahuan bukanlah pencarian kebenaran yang murni, apalagi netral. Bagi Nietzsche, klaim-klaim tentang kebenaran, objektivitas, dan ilmu pengetahuan hanyalah topeng-topeng dari sesuatu yang lebih mendasar dan lebih jujur: kehendak untuk berkuasa (will to power). Artinya, di balik setiap wacana pengetahuan, terselubung kehendak manusia untuk menafsirkan, menguasai, dan membentuk dunia sesuai dengan kepentingannya.

Nietzsche menyebut bahwa tidak ada fakta, hanya interpretasi. Dalam esainya yang berjudul On Truth and Lies in a Nonmoral Sense (1873), ia bahkan menyatakan bahwa apa yang disebut sebagai “kebenaran” adalah ilusi yang telah dilupakan sebagai ilusi semacam metafora yang dibakukan oleh masyarakat dan diulang-ulang hingga terasa absolut. Maka, kebenaran bukanlah cermin dunia, melainkan konstruksi yang lahir dari kebutuhan manusia akan stabilitas, pengaruh, atau dominasi.

Dalam setiap kekuasaan memiliki kepentingannya sendiri, juga disetiap Pendidikan yang diperbaharukan selalu hadir intervensi kekuasaan untuk melanggengkan kekuasaan itu sendiri, sehingga memisahkan Pendidikan dan kekuasaan terasa sulit sebab latar belakang Pendidikan selalu sesuai dengan kekuasaan yang hadir, hal ini tentu bukan omong kosong belaka jika anda melihat sedikit kebelakang anda mungkin menemukan beberapa bukti nyata invtervensi kekuasaan atas Pendidikan, seperti intervensi

“Pendidikan orde baru”, jika melihat nuansa Pendidikan pada saat orde baru kita mungkin akan merasakan tekanan kuat birokrasi yang berusaha mendisiplinkan pemikiran dan gerakan mahasiswa pada saat itu dengan menghadirkan sebuah Lembaga NKK/BKK (Normalisasi Kehidupan Kampus/ Badan Koordinasi Kemahasiswaan).

lembaga ini tentunya bukan lembaga yang membimbing manusia menuju kemerdekaan berfikir sebab dibeberapa catatan Sejarah lembaga ini justru berusaha mengintervensi setiap gerakan yang ada, berusaha mendisplinkan setiap pandangan yang beroposisi dengan pemerintahan pada saat itu, sehingga hal ini menjadi indikasi kuat bahwa kekuasaan selalu bisa menghadirkan topeng – topeng intelektual untuk meyakinkan Masyarakat dan menciptakan ilusi kebenaran yang dibakukan Masyarakat sehingga menjadi kebenaran palsu yang diulang-ulang.

Baca Juga :  Simak Jadwal Pemberangkatan KKN Reguler dan Terpadu UNM

Hal lain yang dapat kita jadikan contoh ialah politisasi kurikulum yang terjadi di orde baru, yang dimaksudkan politisasi kurikulum disini ialah seperti penekanan peran militer dalam kemerdekaan, penggambaran PKI sebagai dalang tunggal peristiwa 30 september 1965 yang sangat dibesar-besarkan. Dalam buku Sejarah versi orde baru ada beberapa hal yang terasa hiperbola seperti, Tokoh-tokoh militer tertentu sangat ditonjolkan sebagai penyelamat, ideologi sayap kiri yang pemikirannya tidak diulas dan hanya dianggap ancaman semata, gerakan mahasiswa dan Masyarakat yang kritis tidak dimasukkan dalam buku Sejarah.

Hal ini adalah contoh nyata Rezim yang melakukan penyeleksian informasi dalam buku Sejarah sehingga kebenaran Sejarah tidak dipelajari secara aktual sebab demi melanggengkan kekuasaan hal-hal yang dapat menjadi ancaman bahkan melalui pikiranpun akan dipangkas. Dengan semua pandangan tersebut tentunya menjadi masuk akal mengapa tokoh seperti Tan Malaka tidak dimasukkan dalam buku sejarah dibangku sekolah dan pembantaian massal 1965-1966 juga ikut tidak dimasukkan.

Komodifikasi Manusia dalam Dunia Pendidikan

Komodifikasi manusia adalah proses menjadikan manusia sebagai komoditas yang dilihat nilainya berdasar dari fungsi ekonomisnya, dilihat apa saja hal yang menjadi spesialisnya demi memenuhi pasar kerja. Dengan ini manusia tidak hanya tidak menjadi subjek dalam konstruk Pendidikan melainkan menjadi alat siap pakai yang tidak dipedulikan unsur humanioranya dan hanya berfokus pada ilmu pragmatis seorang individu. Hal ini menjadikan Pendidikan kehilangan nilai etis dan moralnya yang tidak jarang menciptakan tenaga kerja yang hanya mempedulikan diri sendiri dan cenderung apatis dengan lingkungan. Di beberapa kondisi saya sering mendapati indoktrinasi kepada siswa maupun mahasiwa baru yang mendorong mereka melihat dunia mereka sebatas pada ijazah dan sertfikasi, hal ini tidak salah namun menyempitkan Pendidikan hanya pada aspek pragmatis saja, padahal ihwal Pendidikan tidak hanya sebatas ijazah dan kerja namun juga terkait dengan kemerdekaan individu dan pengembangan diri.

Dalam tulisan Eko prasetyo dalam bukunya “Kampus Hari Ini: Mahal, Menindas, dan kehilangan integritas” beliau juga ikut mengkomentari kampus yang sangat komersil dalam mengantarkan perkuliahannya sehingga kesannya Mahasiswa adalah produk yang harus lulus cepat, patuh aturan dan siap pakai untuk kebutuhan industri. kampus mungkin menjadi tempat untuk mengajarkan pengetahuan namun meredam kesadaran, sehingga tenaga kerja yang mungkin hadir akan professional dalam bidangnya namun kehilangan empati sosialnya, tidak mengalami kesadaran kolektif, dan memelihara sikap apatisnya menjadi sebuah landasan untuk tidak mau ambil pusing akan segala sesuatu yang terjadi sekitarnya, mungkin saja mereka mampu membuat teknologi yang modern namun tidak mampu melihat tetangganya yang kelaparan, mungkin saja mereka bersedih kehilangan peliharaan yang mereka sayangi namun tidak mampu merasakan kehilangan yang sama atas keluarga yang direbut hak-haknya, hal-hal ini mungkin saja terdengar sepele namun ini adalah akibat dari Pendidikan yang perlahan menggeser nilai-nilai kemanusiaan menuju nilai-nilai komoditas pasar kapital.

Baca Juga :  Husain Syam: Saya Percaya Kepada Pejabat yang Baru Dilantik

Menuju Pendidikan yang Membebaskan

Selama bertahun-tahun, pendidikan di Indonesia telah diarahkan untuk menjadi mesin pencetak tenaga kerja manusia-manusia yang dipersiapkan bukan untuk berpikir, tetapi untuk mematuhi; bukan untuk mencipta, tetapi untuk mengulang. Sistem pendidikan seperti ini sering kali menekankan hafalan, kepatuhan struktural, dan pengukuran angka, seraya menyingkirkan imajinasi, kritik, dan keberanian untuk bertanya. Imajinasi adalah bagian yang sangat spesial dari Homo Sapiens, sebab imajinasi inilah yang membuat kita memiliki satu gambaran mengenai bangsa, negara, hak asasi manusia, dan menciptakan makna pada segala sesuatu yang hadir disekitar kita, hal ini dinamakan sebagai imajinasi kolektif yang sudah hadir sekitar 70.000 tahun yang lalu, namun kelihatannya imajinasi ini terasa mejauh dari Homo Sapiens yang ada di masa kini. Dengan kalimat efesiensi dan stabilitas, imajinasi ini mulai di gerus demi kepentingan Homo Sapiens yang duduk dibangku birokrat dan inilah wajah Pendidikan kita sekarang yang selalu merujuk kepada ilmu pragmatis dan serba efisien.

Pendidikan semacam itu tidak membebaskan, melainkan membungkam. Ia mengajarkan murid untuk duduk diam, menjawab sesuai kunci, dan menerima pengetahuan sebagai “kebenaran mutlak” yang tak boleh disentuh. Dalam konteks inilah, pemikiran Paulo Freire tentang “pedagogi kritis” menjadi sangat relevan. Freire menyatakan bahwa pendidikan seharusnya bukan proses “mengisi ember kosong”, tetapi dialog antara subjek yang berpikir, yang memungkinkan setiap individu memahami dan mengubah realitasnya.

Pendidikan yang membebaskan bukan sekadar membebaskan dari ketidaktahuan, tetapi juga dari ketakutan untuk berpikir berbeda. Ia menumbuhkan keberanian untuk meragukan dogma, untuk memahami dunia dari berbagai sudut, dan yang paling penting untuk bertindak. Dalam pendidikan yang membebaskan, guru bukanlah satu-satunya sumber kebenaran, melainkan fasilitator dialog; siswa bukan objek yang dibentuk, melainkan subjek yang tumbuh.

Indonesia, dengan semangat pendidikan yang diwariskan oleh Ki Hajar Dewantara yang menekankan “ing ngarso sung tulodho, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani” sejatinya telah mewarisi benih-benih pembebasan ini. Sayangnya, warisan itu sering tersisih oleh sistem pendidikan yang kaku, kurikulum yang dipolitisasi, dan kebijakan yang menjadikan siswa sebagai komoditas pasar. Menuju pendidikan yang membebaskan adalah menuju sistem yang menghidupkan daya cipta, memberdayakan nalar kritis, dan memulihkan martabat kemanusiaan dalam belajar. Pendidikan semacam ini tidak hanya menyiapkan siswa untuk “bekerja”, tapi juga untuk berpikir, merasakan, dan bertindak sebagai manusia merdeka.

Sebagai akhir kata, Pendidikan hari ini harusnya mampu menempatkan pengembangan imajinasi dan logika secara beriringan, efesiensi bukanlah hal yang salah untuk diajarkan namun ihwal Pendidikan itu bukan hanya sekadar efesiensi, bekerja dan makan dari hasil kerja, namun sebagai manusia yang beretika juga beradab maka selalu ada pengembangan nilai-nilai, kita tidak sendirian hidup didunia yang kompleks ini, kita selalu berdampingan dengan manusia lain maka menanggalkan nilai-nilai humanistik dalam Pendidikan adalah kecerobohan, sekaligus ancaman yang akan menjadi boomerang untuk manusia sendiri, perkembangan ilmu pengetahuan yang tidak didampingi nilai humanisme hanya akan menghadirkan mesin pekerja yang anti-pati, seperti yang dikatakan oleh Buya Hamka “Kalau hidup hanya sekedar hidup, kera di rimba juga hidup. Kalau bekerja hanya sekedar kerja, kerbau disawah juga kerja”.

*Penulis: Muhammad Arief Wijaksana

Berita Terkait

[OPINI] Arah Sekolah dan Pendidikan
[OPINI] Awan Gelap LK FT-UNM: Kekosongan Intelektual dan Degradasi Gerakan Mahasiswa
[OPINI] Tantangan bagi Masyarakat yang Terinfeksi Informasi Sepihak
Pengaruh Lingkungan Kerja terhadap Kinerja Karyawan
Semua Demi Pendidikan
[Opini] Di Balik Layar Konflik: Memahami Strategi Psychological Warfare dalam Perang Modern
[OPINI] Perjuangan dan Potensi Perempuan: Transformasi Gender dalam Organisasi
[OPINI] Apakah UNM Cocok Berstatus PTN-BH?
Berita ini 7 kali dibaca

Berita Terkait

Sabtu, 3 Mei 2025 - 21:56 WITA

[OPINI] Pendidikan yang Membungkam : Saat Instansi Pendidikan Membentuk Komoditas Tanpa Imajinasi

Jumat, 2 Mei 2025 - 09:45 WITA

[OPINI] Arah Sekolah dan Pendidikan

Jumat, 14 Maret 2025 - 20:40 WITA

[OPINI] Awan Gelap LK FT-UNM: Kekosongan Intelektual dan Degradasi Gerakan Mahasiswa

Jumat, 8 November 2024 - 02:36 WITA

[OPINI] Tantangan bagi Masyarakat yang Terinfeksi Informasi Sepihak

Rabu, 3 Juli 2024 - 22:54 WITA

Pengaruh Lingkungan Kerja terhadap Kinerja Karyawan

Berita Terbaru

Pendidikan Sejarah

Pameran Sejarah Jadi Wadah Edupreneurship dan Wisata

Kamis, 8 Mei 2025 - 02:21 WITA

Fakultas Psikologi

Tim BKP Fakultas Psikologi Gelar Psikoedukasi Sex Education di PAUD Kartini

Kamis, 8 Mei 2025 - 02:00 WITA

Himanis

UMKM Fest Wadah Promosi dan Pemberdayaan UMKM Lokal

Rabu, 7 Mei 2025 - 02:27 WITA