PROFESI-UNM.COM – Menyelesaikan skripsi seharusnya menjadi langkah terakhir menuju kelulusan. Namun, bagi banyak mahasiswa tingkat akhir, proses ini justru menjadi sumber overthinking yang tiada habisnya. Bukan hanya soal menulis dan revisi, tapi juga kecemasan tentang masa depan, ekspektasi keluarga, dan ketidakpastian dunia kerja.
Mahasiswa tingkat akhir sering kali menghadapi tekanan berlapis. Saat teman-teman mulai lulus satu per satu, perasaan tertinggal perlahan muncul. Deadline terasa menakutkan, belum lagi revisi dosen pembimbing yang datang bertubi-tubi. Di sela itu, pikiran mulai melompat ke pertanyaan besar: “Setelah lulus, aku mau jadi apa?”
Bagi sebagian mahasiswa, skripsi bukan hanya tugas akhir, tetapi titik awal dari ketakutan yang lebih luas. Dunia pasca-kampus terlihat kabur, apakah akan langsung kerja, lanjut kuliah, atau justru menganggur? Belum lagi tekanan halus dari keluarga dan kerabat yang tak jarang bertanya, “Kapan wisuda?”, “Kerja di mana nanti?”, hingga “Nggak lanjut S2?”.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Overthinking ini kemudian berdampak pada kondisi mental dan motivasi. Banyak mahasiswa merasa kehilangan semangat, mudah lelah, bahkan menunda pengerjaan skripsi karena cemas tidak akan maksimal. Padahal, semakin tertunda, rasa takut itu justru semakin besar.
Ketika Deadline Jadi Momok
Fenomena ini juga dipicu oleh standar kesuksesan yang tidak realistis. Mahasiswa kerap membandingkan dirinya dengan orang lain, yang sudah kerja di perusahaan ternama, yang diterima beasiswa luar negeri, atau yang sukses jadi konten kreator. Akibatnya, pencapaian pribadi terasa kurang berarti.
Meski begitu, tak semua overthinking berakhir buruk. Bagi sebagian mahasiswa, perasaan cemas justru menjadi pemicu untuk menyusun rencana dan mencari jalan keluar. Beberapa mulai mengikuti pelatihan karier, membuat portofolio, atau memperluas jaringan. Ada pula yang memilih fokus menyelesaikan skripsi dulu, lalu pelan-pelan merancang masa depan.
Menghadapi overthinking di masa akhir kuliah bukan perkara mudah. Namun dengan dukungan lingkungan, bimbingan yang tepat, dan keberanian untuk jujur pada diri sendiri, mahasiswa bisa melewati fase ini dengan lebih tenang. Lagipula, setiap orang punya waktunya sendiri untuk tiba di garis akhir. (*)
*Reporter: Nur Mardatillah