PROFESI-UNM.COM – Mendikbudristek-Dikti kembali meluncurkan merdeka belajar episode ke 22. Episode ke 22 tersebut berisi tentang seleksi masuk perguruan tinggi. Perguruan tinggi membuka 3 jalur seleksi, yaitu seleksi nasional berdasarkan prestasi, seleksi berdasarkan tes, dan seleksi mandiri oleh PTN.  Menurut paparan Kemendikbudristek ketiga jalur tersebut mengalami perubahan skema yang bertujuan untuk memperbaiki mekanisme seleksi sebelumnya.

Pada seleksi nasional berdasarkan prestasi akan difokuskan pada pemberian penghargaan tinggi atas kesuksesan pembelajaran yang menyeluruh pada tingkat pendidikan menengah. Bobot minimal 50% untuk nilai rata-rata rapor seluruh mata pelajaran agar siswa terdorong berprestasi secara holistik di seluruh mata pelajaran.  50% lainnya untuk komponen penggalian minat dan bakat pada bidang ekstrakurikuler agar siswa terdorong untuk mengeksplorasi minat dan bakatnya.

Seleksi berdasarkan tes, dilakukan penghapusan tes yang spesifik pada mata pelajaran. Ini akan diganti hanya ada satu tes skolastik yang mengukur kemampuan bernalar siswa, kemampuan potensi kognitif, penalaran matematika, literasi dalam bahasa indonesia, dan bahasa Inggris,” jelas Nadiem (detik.com Rabu,07/09/2022)

Pada jalur mandiri, kemendikbudristek menyampaikan bahwa akan dilaksanakan secara lebih transparan dan akuntabilitas serta masyarakat ikut mengawasi proses pelaksanaan seleksi. Hal tersebut agar terdapat standarisasi terkait beragamnya mekanisme penerimaan melalui jalur mandiri di PTN.

Namun, perlu dicermati lebih teliti lagi apakah yang menjadi permasalahan pendidikan tinggi?

Benarkah pergantian skema jalur masuk PTN yang dilakukan dapat memecahkan permasalahan yang terjadi saat ini?

Apa Masalah Utama Dunia Pendidikan Tinggi?

Pertama, komersialisasi pendidikan. Kampus yang identik dengan para intelektual dan orang-orang cerdas, tetapi pada kenyataannya menjadi ladang jual beli yang dibuat sendiri oleh pemerintah. Tentu kita menyadari betapa sulit dan mahalnya untuk menjadi seorang mahasiswa. Orang tua pun rela menggelontorkan uang jutaan rupiah agar sang anak bisa mendapakan gelar mahasiswa.

Faktanya pun salah satu Universitas Negeri ternama di Sulawesi Selatan, Universitas Negeri Makassar menerima pendaftaran mahasiswa baru sampai melebihi kuota yang tersedia. Dilansir dari medcom.id. “Kuota yang kita ajukan itu sekitar 9.800-an orang atau kurang lebih 10 ribuan orang pada akhirnya nanti,” ujar Rektor UNM, Husain Syam, Kamis, 24 Maret 2022.

Namun dari situs resminya unm.ac.id mengungkapkan bahwa UNM menyambut 11.803 mahasiswa baru pada tahun ajaran 2022/2023. Jumlah mahasiswa membludak sementara sarana seperti ruang kelas menjadi tidak terpenuhi. Kuliah online pun menjadi alternatif. Padahal dalam pembelajaran online rupaya masih banyak yang mengeluhkan tidak bisa menerima materi dengan baik.
Semakin tingginya biaya kuliah, mulai dari uang semester yang tidak sebanding dengan sarana prasarana yang didapatkan hingga biaya hidup di perkotaan yang serba mahal. Pendidikan hanya ditujukan untuk orang-orang kaya, sedangkan amanat UUD peran negara adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Tentu seharusnya pendidikan menjadi hak setiap rakyat.

Kampus Terjebak Racun Kapitalistik
Tujuan dasar pendidikan tinggi hanya orientasi kerja. Berkedok link and match dunia usaha dunia industri, para pemuda digiring menjadi pekerja industri. Tentu tidaklah salah jika keilmuaan yang dimiliki menjadi jasa bagi orang lain. Mirisnya mereka diarahkan untuk menjadi pekerja industri, nyatanya setelah sarjana berebut lapangan pekerjaan.

Berbagai program yang lahir pun tak ubahnya sekadar melegitimasi program Kemendikbud lainnya. Sekolah penggerak yang sedang menjadi program di pendidikan menengah berusaha diselaraskan dengan perguruan tinggi. Berbagai program telah diluncurkan dan memunculkan respon yang berbeda-beda. Tak sedikit pula yang merasa kebingungan sebab hanya gonta ganti kebijakan teknis, padahal terdapat masalah pokok pendidikan yang belum diatasi.

Mahalnya biaya masuk perguruan tinggi, hingga mapping map jurusan yang belum jelas arahnya, semakin mengokohkan bahwa tujuan pendidikan tinggi hanya komersialisasi semata. Bukan untuk menciptakan SDM unggul yang nantinya akan mengelola berbagai SDA yang melimpah.

Melalui tes masuk perguruan tinggi yang tidak lagi memberikan TPA (Tes Potensi Akademik) melainkan hanya bernalar saja, maka kompetensi dasar calon mahasiswa tidak akan terdeteksi dengan baik. Sementara Perguruan Tinggi seharusnya sudah mempelajari suatu yang lebih spesialis. Dari jurusan IPS bisa saja lolos di jurusan kedokteran, karena yang dinilai hanya kemampuan bernalar. Padahal kemampuan dasar seperti biologi, fisika, kimia wajib diketahui.

Bukan lagi sebuah rahasia, jalur masuk pendidikan tinggi, seperti orang dalam sampai lewat jalur jendela semua bisa ditempuh. Tentu tak heran jika masuknya “nyogok” keluar juga dengan “nyogok”. Lulusan yang dihasilkan bukanlah SDM berkualitas melainkan bibit unggul suap dan korupsi. Kasus OTT terhadap rektor UNILA misalnya, bagaimana mungkin seorang rektor yang notabene memiliki keilmuan yang tinggi malah melakukan korupsi dan suap.

Sangat menghawatirkan. Pendidikan yang seharusnya membawa manusia semakin bertakwa malah menjadi manusia sibuk mengejar dunia dengan melegitimasi segala cara. Itu hanya salah satu yang terekspos di publik, lalu bagaimana dengan kampus lainnya?

Jurusan-jurusan baru terus dibuka tanpa memperhatikan apa yang menjadi kebutuhan negeri ini. Misalnya saja negeri ini kaya akan sumber daya alam bahari, tetapi jika tidak diolah oleh SDM dalam negeri yang berkualitas tentu tidak bisa dioptimalkan dengan baik. Hal inilah yang terjadi pada BBL (Benih Bibit Lobster). Jika diekspor nelayan hanya akan mendapatkan harga murah, tetapi para nelayan pun tidak mengerti cara membudidayakannya sehingga tidak bisa dioptimalkan dengan baik.
Begitulah jika orientasi pendidikan bukanlah kemaslahatan umat tetapi untuk kepentingan para kapital. Lulusan menjadi menumpuk tanpa ada mapping map yang jelas, akhirnya mereka bekerja tidak lagi sesuai keilmuan atau bahkan menghalalkan segala cara.


Pendidikan Tinggi Mercusuar Kebangkitan Negeri

Pendidikan memang menjadi bagian paling krusial dalam menentukan kebangkitan suatu negeri. Pendidikan yang baik akan melahirkan para generasi bertakwa dan berilmu. Pendidikan harus diperbaiki dimulai dari asasnya. Pada masa dinasti Abbasiyah pendidikan Islam menjadi mercusuar dunia. Berkaca dari sistem pendidikan yang telah berhasil tersebut maka ada beberapa hal yang seharusnya menjadi perhatian penting.


Pertama, Kurikulum dan tujuan pendidikan. Kurikulum dapat dikatakan sebagai rencana dalam setiap aktivitas pendidikan. Kejelasan kurikulum akan mengarahkan lulusan yang jelas juga. Sementara tujuan pendidikan membentuk  pemuda yang memiliki syakhsiyah Islam yaitu pola pikir dan pola sikap Islam. Pendidikan membekali akal untuk memahami dengan benar fitrah penciptaannya. Manusia dengan potensi akalnya, menjadikannya dapat memahami sesuatu dan pendidikan sebagai penjaganya. Berlandaskan aqidah Islam  dirinya terdorong berfikir tentang alam semesta dan mencari tahu sesuatu menjadi kebiasaan dirinya. Sosok yang selalu terdepan dalam pengelolaan dan pemanfaatan teknologi. Maka itulah gambaran manusia ulul albab
Kedua, program pendidikan.  Sejak awal program yang dibuat berdasarkan rumusan dari tujuan pendidikan. Beberapa hal yang menunjang keberhasilan tujuan adalah mempelajari bahasa Arab, mendalami kelimuan(tsaqofah) agama dan mempelajari tsaqofah asing serta mampu memilah ilmu yang diambil dan yang ditinggalkan, serta memiliki waktu belajar yang proporsional.

Ketiga, Sistem pendidikan bebas biaya. Dalam negara Islam sistem perekonomian menjamin kesejahteraan  rakyatnya. Kepemilikan pun diatur berdasarkan syariat Islam, sehingga tidak ada kesempatan para kapital (pemilik modal) untuk menguasai apa yang bukan haknya. Kepemilikan rakyat dikelola oleh negara di kas negara (baitul mal) setelah itu dikembalikan hasilnya kepada rakyat yang membutuhkan atau membiayai kebutuhan primer seperti kesehatan, pendidikan dan keamanan. Harta ini didapatkan dari kekayaan alam yang merupakan kepemilikan umum bagi semua rakyat.
Pendidikan sebagai kebutuhan primer wajib dipenuhi oleh negara. Negara bukan hanya sekadar pembuat aturan tetapi sebagai pe-riayah yang mengurusi rakyatnya. Para pemuda  mendapatkan pendidikan mulai dari tingkat dasar sampai perdidikan tinggi secara mudah, murah bahkan gratis juga berkualitas.
Kondisi pendidikan seperti ini  akan menghasilkan para intelektual yang beriman dan bertakwa, memahami diri sebagai hamba dan menjadikan menuntut ilmu sebagai bentuk ketaatan kepada Sang Khalik (*)

*Penulis adalah Musdalifah, Mahasiswa Teknologi Pendidikan angkatan 2018.