PROFESI-UNM.COM – Per 3 September 2022 pemerintah secara resmi mengumumkan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Kenaikannya pada turunan produk bbm jenis solar, pertalite dan pertamax dimana kenaikannya masing-masing sebesar 32 persen, 30 persen u dan 16 persen. Kebijakan pemerintah menaikkan harga tersebut didasarkan atas beberapa hal: (1) Naiknya harga minyak dunia; (2) kebijakan subsidi yang dinilai tidak tepat sasaran; (3) ketidakmampuan fiskal. Kenaikan harga tersebut memberikan efek sistemik terhadap perekonomian sehingga perlu pembacaan secara komprehensif dan strategi kebijakan untuk meredam efek kejut yang kemungkinan akan dihasilkan.

Naiknya harga BBM dan Apa Penyebabnya?

                Kenaikan harga bbm nasional dapat dicek dari beberapa sisi, sisi eksternal dan internal. Jika dicermati lebih jauh salah satu sumber yang menjadi faktor utama kenaikan harga BBM ditransmisi dari sisi eksternal yaitu gangguan pada sisi supply chain global dikarenakan aktivitas perekonomian dan daya beli masyarakat yang mulai membaik serta eskalasi geopolitik dunia akibat perang antara Rusia dan Ukraina, pola serta efek krisis ini hampir mirip dengan krisis sebelumnya di tahun 2020 dimana dunia dihadapakan pada berbagai ketidakpastian akibat trade war US dan China yang kemudian dilanjutkan dengan perang teknologi antara dua negara Advance Economic (AE) tersebut sehingga memberi efek guncangan pada sisi supply dan distribusi yang dalam kaitannya menurunkan volume perdagangan global dan perlambatan ekonomi beberapa negara, pada saat yang sama harga minyak dunia juga terus bergejolak naik  dan menyebabkan inflasi secara umum yang kemudian berpotensi mengarahkan perekonomian global jatuh pada kondisi stagflasi. Belajar dari pengalaman krisis sebelumnya, kemungkinan pola dan efek yang akan dihasilkan dari krisis saat ini terhadap aspek perekonomian akan relatif sama yaitu stagflasi dimana inflasi tinggi, pertumbuhan ekonomi yang melambat dan tingkat pengangguran yang meningkat yang dalam kaitannya akan semakin menggerus daya beli masyarakat.

                Sisi internal, kebijakan fiskal yang dilakukan pemerintah Indonesia dengan menggeser alokasi belanja subsidi dan kompensasi BBM berimplikasi pada kenaikan harga BBM. Menurut pemerintah tren kenaikan harga minyak dunia dan tingkat konsumsi bbm yang terus terjadi semakin membebani APBN dimana anggaran subsidi dan kompensasi meningkat 3 kali lipat lebih dari Rp. 152,5 triliun menjadi Rp. 502,4 triliun. Rata-rata konsumsi pertalite setiap bulannya selama januari-agustus 2022 yaitu sebesar 2,4 juta KL lebih besar jika dibandingkan dengan rata-rata konsumsi bulanan pertalite tahun-tahun sebelumnya yang hanya sebesar 1 juta KL, sedangkan kuota yang dialokasikan pemerintah hanya sebesar 23 juta KL sehingga tidak akan cukup digunakan sampai akhir tahun sehingga solusinya pemerintah menambah kuota atau menaikkan harga. Pembengkakan anggaran energi tersebut akan semakin membebani APBN bertolak dengan target pemerintah yang tahun ini memfokuskan untuk pemulihan APBN yang telah dipaksa bekerja keras dalam 2 tahun terakhir untuk meredam efek kejut resesi Covid-19, sehingga implikasinya pemerintah tidak memiliki cukup ruang fiskal untuk menggunakan APBN sebagai shock absorber terhadap gejolak harga minyak dan biaya konsumsi bbm yang naik. Kondisi APBN yang sudah cukup terbebani pasca resesi Covid-19 coba dipulihkan oleh pemerintah dengan mendorong dan mencari sumber-sumber pendapatan baru dan mulai secara bertahap memangkas berbagai pos anggaran subsidi dan kompensasi seperti bbm, tarif listrik dan penangguhan kredit serta pajak. Berdasarkan kebijakan dan alasan pemerintah tersebut maka menjadi perlu juga untuk mengecek kemampuan fiskal saat ini dan menguraikan dampak sistemik dari kebijakan tersebut serta usul alternatif strategi kebijakan pemerintah.

BBM, Inflasi dan Perekonomian Indonesia

                Indonesia sebagai negara net importir minyak dunia tidak dapat menghindari efek lonjakan harga minyak dunia saat ini. BBM telah menjadi komoditi utama, sehingga kenaikan harga minyak akan memberi efek sistemik secara luas. Secara konseptual, pengaruh kenaikan harga bbm ke perekonomian diinteraksikan melalui sisi moneter yang kemudian akan memberi dampak pada sisi supply dan demand. Dari sisi moneter, kenaikan harga bbm telah menyebabkan kenaikan harga-harga secara umum, inflasi dibulan september diperkirakan oleh Bank Indonesia (BI) akan merangkak naik sebesar 5,9 persen yang bulan sebelumnya inflasi tercatat hanya sebesar 4,69 persen, disisi lain BI juga telah menaikkan suku bunga acuan menjadi 4,25 persen sebagai respon untuk menahan laju inflasi yang dalam kaitannya perekonomian dari sisi penawaran akan terganggu. Dari sisi penawaran, tingginya inflasi dan suku bunga akan menaikakan biaya produksi dan distribusi, merespon hal tersebut produsen akan melakukan berbagai penyesuaian baik dalam bentuk harga, bahan baku maupun jumlah pekerja sehingga salah satu potensinya selain harga dan kuantitas produk yang berubah adalah dapat mengakibatkan gelombang PHK, pekerja terancam akan kehilangan pekerjaan dan daya beli yang menurun membuat perekonomian disisi demand juga akan terganggu, disisi lainnya turunnya permintaan akibat dari inflasi tinggi direspon oleh produsen dengan menurunkan kuantitas produksinya sehingga berakibat pada turunnya pendapatan perusahaan yang kemudian diikuti penurunan pendapatan pekerja. Perekonomian dari sisi permintaan, kenaikan inflasi dan suku bunga akan direspon negatif oleh pelaku usaha untuk melakukan investasi dan konsumsi sehingga akan berefek pada menurunnya penciptaan lapangan pekerjaan baru yang dalam kaitannya penurunan pertumbuhan ekonomi dan tingkat pengangguran menjadi lambat sebab konsumsi masyarakat dan investasi merupakan kontributor terbesar dalam penciptaan pertumbuhan ekonomi. Berdasarkan hal tersebut, Inflasi dan suku bunga yang tinggi dapat menyebabkan pendapatan riil masyarakat tergerus dan standar hidup menurun, selain itu inflasi akan menciptakan ketidakpastian dan mempengaruhi perilaku masyarakat dalam melakukan konsumsi, investasi dan produksi yang dalam kaitannya akan menurunkan pertumbuhan ekonomi, memperlambat pengentasan kemiskinan dan penurunan pengangguran. Jika ini terus berlangsung maka berpotensi akan terjadi gelombang stagflasi terhadap perekonomian.

                Dapat dilihat dari pengalaman sebelumnya, kenaikan harga bbm di bulan Juni 2013 telah mendorong kenaikan inflasi dibulan juli sebesar 2,7 persen, puncaknya bulan ke dua pasca kenaikan BBM dan hal tersebut diikuti dengan kenaikan suku bunga acuan sebesar 2 persen. Inflasi dan suku bunga yang tinggi kemudian memberikan efek tekanan terhadap pada perekenomian dari sisi demand terlihat dari kinerja pertumbuhan dari sisi penggunaan kuartal ke 2 sampai 4 pasca kenaikan bbm sebagian besar mengalami tren penurunan seperti konsumsi rumah tangga, pengeluaran pemerintah dan PMTB sehingga mencatatkan pertumbuhan ekonomi yang melambat pada tahun 2014 yang hanya tumbuh sebesar 5,01 persen lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya yaitu sebesar 5,56 persen pada tahun 2013. Dampak untuk indikator makro lainnya seperti kemiskinan dan pengangguran, jika dilihat datanya per maret-september 2013 keduanya mengalami sedikit kenaikan. Dampak yang dihasilkan dari kenaikan bbm di tahun 2013 diperkirakan tidak jauh berbeda dengan efek yang akan dihasilkan dari kenaikan saat ini yang baru akan jelas terlihat pada bulan oktober dan november mendatang.

                Jika diamati lebih jauh, sektor lapangan usaha yang diperkirakan akan sangat terdampak dari kenaikan harga bbm yaitu sektor pertanian dan perkebunan, pertambangan, transportasi dan industri pengolahan.  Sebab sektor tersebut sebagian besar pengeluaran untuk biaya produksinya digunakan untuk pembelian BBM khususnya seperti nelayan, petani, angkutan umum dan UMKM. Sehingga akan melakukan penyesuain untuk tetap menjaga pendapatan karena naiknya biaya produksi mengakibatkan harga-harga menjadi naik yang kemudian akan berdampak pada daya beli masyarakat. Kelompok masyarakat yang paling terkena dampak dari kenaikan harga-harga tersebut adalah kelompok masyarakat rentan dan miskin dikarenakan dengan naiknya harga bbm akan menggerek inflasi makanan yang beberapa ekonom memperkirakan akan sampai 15 persen yang sebelumnya sudah cukup terakselerasi pada bulan sebelumnya yaitu 8,25 persen pada bulan agustus karena selain biaya produksi, biaya transportasi khususnya juga logistik bergerak naik sebagai akibatnya harga pangan menjadi sangat tinggi. Meskipun konsumsi bbm dari kelompok tersebut kecil namun efeknya akan sangat terasa sebab sebagian besar pengeluarannya yaitu untuk kebutuhan pangan yang kenaikannya jauh lebih besar dari inflasi lainnya. Disisi lain kelompok menuju kelas menengah yang sekitaran 114 juta atau hampir setengah dari masyarakat indonesia yang proporsinya 44 persen dari total penduduk diperkirakan juga berpotensi kembali masuk dalam kelompok rentan akibat gejolak inflasi saat ini yang menurunkan daya belinya. Dampak untuk masyarakat kelompok menengah atas akan tetap ada namun akan cukup aman dan tidak terlalu membebani dibandingkan tekanannya pada kelompok masyarakat menengah bawah meskipun ada bantuan sosial yang diberikan berupa BLT BBM dan BLT upah.  Bantuan sosial tersebut tidak cukup kuat untuk menjaga daya beli masyarakat agar tidak jatuh oleh gerusan gelombang inflasi yang cukup tinggi.

                Berdasarkan hasil pengamatan, jika pemerintah tidak menaikkan harga BBM perkiraan pertumbuhan pertumbuhan ekonomi Indonesia dikisaran angka 5,2 persen, sebab inflasi tahunan akan relatif terkontrol pada kisaran 5 persenan. Hasil tersebut lebih baik jika dibandingkan dengan pemerintah menaikkan harga BBM yang diperkirakan hanya akan menciptakan pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2022 dikisaran 5,04 persen tertahan akibat inflasi tahunan yang diperkirakan akan melintas diangka 7 persen sebagai akibat dari kenaikan bbm. Pertumbuhan dari dua skema tersebut tetap lebih rendah dari pertumbuhan potensial serta targetan yang telah dibuat pemerintah yaitu kisaran 5,3 persen sebagian besar karena tekanan inflasi. Dampaknya untuk tahun ini mungkin akan masih terlihat moderat sebab kinerja pertumbuhan di kuartal I dan II cukup baik dan kemungkinan dampak yang lebih dalam pada tahun depan. Namun terpenting bahwa pertumbuhan ekonomi tersebut menjadi kurang berarti jika dibarengi dengan inflasi yang tinggi sebab kesejahteraan masyarakat turun. Disisi lain, tingkat pengangguran dan kemiskinan akan mengalami sedikit kenaikan.

                Jika dilihat struktur APBN Indonesia 2022, alokasi belanja energi yaitu  sebesar Rp. 152,5 triliun rinciannya Rp. 14,6 triliun untuk belanja subsidi dan Rp. 137,9 triliun untuk belanja kompensasi. Belanja subsidi tersebut untuk membiayai jenis BBM tertentu (JBT) yaitu solar dan LPG sedangkan belanja kompensasi untuk jenis BBM penugasan khusus (JBPK) seperti pertalite dan pertamax yang dialokasikan untuk membayar kompensasi kerugian pertamina karena menjual dibawah harga keekonomian, perbedaannya kompensasi dapat dibayarkan pada penganggaran berjalan atau yang akan datang tergantung pemerintah menjadikannya belanja energi tidak transparan. Salah satu sebab anggaran energi naik siginifikan selain karena gejolak harga minyak mentah dan naiknya konsumsi energi masyarakat juga karena pemerintah per juli telah harus membayarkan kompensasi pertamina tahun 2021 sebelumnya yang sebesar 104,8 triliun.  Sebab hal tersebut pemerintah kembali melakukan penyesuaian APBN untuk menambah alokasi belanja menjadi 502,4 triliun, rinciannya dimana subsidi sebesar Rp. 208,9 triliun dan kompensasi sebesar Rp. 293,5 triliun. Per juli 2022 realisasi anggaran energi baru sebesar 88,7 triliun itu untuk pertalite, LPG dan listrik atau sekitar 30 persen dari total pagu anggaran kompensasi sehingga total realisasi sampai dengan juli kemarin jika termasuk bayar kompensasi tahun 2021 yaitu sudah sebesar Rp. 193,7 triliun atau 66 persen dari pagu anggaran kompensasi artinya masih ada ruang fiskal kompensasi yang cukup untuk membiayai kenaikan biaya konsumsi energi sebesar Rp. Rp. 99,8 triliun apalagi jika dilihat perkembangan harga minyak dunia terus menunjukkan tren penurunan, dalam perdagangan jumat 23 september harga minyak Brent tercatat hanya sebesar USD 86,15 per. Hal tersebut menjadikan biaya belanja energi akan sedikit lebih kecil dibandingkan yang telah diperkirakan sebelumnya bahwa kemungkinan akan naik menjadi Rp. 640 triliun dan angka yang terus dikeluh-keluhkan pemerintah Rp. 502,4 triliun tersebut sebenarnya sangat berlebihan dan itu merupakan total keseluruhan anggaran energi bukan untuk kebutuhan BBM saja, berdasarkan hasil perhitungan yang telah dilakukan perkiraan belanja subsidi bbm sampai akhir tahun dengan asumsi pemerintah tidak menaikkan harga bbm hanya dikisaran Rp. 444,5 triliun sudah termasuk biaya penambahan kekurangannya, adapun rinciannya pertalite, listrik dan LPG 198,9 triliun, Solar Rp. 140,8 triliun dan pembayaran kompensasi tahun 2021 Rp. 104,8 triliun. Jika dilihat realisasi bulan juli, konsumsi rata-rata perbulan untuk pertalite, listrik dan LPG Januari-juli 2022 sebesar 2,4 KL per bulan sedangkan solar 1,4 KL per bulan sehingga kuota yang telah dialokasi pemerintah memang kemungkinan tidak mencukupi, dimana untuk bbm dan solar masing-masing sebesar 23 KL dan 14,9 KL sehingga akan butuh penambahan kuota bbm sebesar 8,3 KL rinciannya 6,3 KL pertalite, listrik dan LPG dan 2,1 KL solar atau senilai  Rp. 59,6 triliun.  

                Terdapat berbagai alternatif strategi kebijakan selain menaikkan harga yang telah diusulkan publik untuk meredam efek sistemik naiknya harga minyak dunia dan ancaman gelombang inflasi seperti perbaikan tata kelola energi khususnya disisi penganggaran, distribusi, memassifkan pengawasan langsung, disisi lain Pemerintah perlu memperbaharui data target subsidi dan sinkorinasi data penduduk miskin kedalam berbagai bentuk untuk digunakan dalam penyaluran bbm sehingga konsumsi dan anggaran menjadi lebih efisien.

                Kemudian untuk memberi tambahan ruang fiskal dapat dilakukan dengan mengalihkan beberapa alokasi anggaran yang dinilai belum terlalu mendesak seperti proyek ibukota negara baru (IKN) yang dianggarkan pada tahun ini sebesar Rp. 5,1 triliun , kereta cepat Rp. 4.1 triliun dan proyek ambisius lainnya untuk dapat menopang kenaikan biaya subsidi. Selain itu, karakteristik kebijakan subsidi yang selama ini dilakukan pemerintah cenderung terbuka tanpa mekanisme dan aturan yang tegas sehingga potensi kebocoran subsidi cukup tinggi, disisi lain pola penganggaran yang sangat tidak transparan. Jadi bentuk kebijakan subsidi yang dapat dilakukan adalah kebijakan subsidi yang relatif tertutup dengan mekanisme dan aturan yang tegas serta lebih transparan.  

                Mengurangi biaya konsumsi energi yang terus meningkat dapat dilakukan dengan peningkatan efisiensi Pertamina. Realisasi produksi minyak mentah Indonesia semester 1 2022 sekitar 611.000 barel per hari jika diasumsikan produksi kedepan sama maka produksi minyak mentah tahun 2022 akan mencapai 223 juta barel atau 35,5 miliar liter (1 barel 159 liter) dengan pola bagi hasil pemerintah dengan mintra kontraktor sebesar 57 persen pemerintah dan 43 persen kontraktor. Jadi Indonesia memiliki minyak mentah sebesar 20,3 miliar liter (20,3 juta KL) dan jika pemerintah memproduksi menjadi pertalite dan solar dan dijual dengan harga Rp. 7.600 dan 5.150, setelah dikurangi biaya produksi, distribusi dan pajak akan memperoleh keuntungan Rp. 6.000 dan Rp. 4.000 per sehingga pertamina dapat memperolah pendapatan negara Rp. 91,6 triliun. Minyak mentah tersebut dialokasikan 10 KL untuk biosolar dan 10,3 KL untuk pertalita. Adapun kebutuhan energi Indonesai 2022 sekitar 46,2 KL dan pertamina hanya dapat memenuhi 20,3 KL atau 44 persen dan selebihnya dipenuhi dari impor. Jika pertamina ditingkatkan efisiensinya maka akan banyak anggaran yang terhemat. (*)

*Penulis ialah Fajar Wijaya, Mahasiswa Magister Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan Universitas Hasanuddin 2021, alumni Ekonomi Pembangunan Universitas Negeri Makassar 2013-2020

E-mail: fajarwijayaa17@gmail.com