PROFESI-UNM.COM – Di sebuah sudut Rumah Pendidikan berdiri tegak lembaga yang konon katanya paling sakral dalam tata kelola kemahasiswaan, namanya Majelis Permusyawaratan Mahasiswa (MAPERWA) FIP UNM yang mana di atas kertas mereka adalah penjaga konstitusi, pengawal etika, pelindung demokrasi. Namun, dalam praktiknya Maperwa FIP UNM menunjukkan bahwa konstitusi itu tak lebih dari dokumen formal yang bisa dibengkokkan sesuai kepentingan.
Aturan-aturan yang semestinya menjadi batas dan rambu justru dijadikan alat legitimasi kepentingan kelompok, prosedur diputarbalikkan, interpretasi konstitusi di manipulasi, dan keputusan strategis diambil berdasarkan lobi-lobi yang tidak terbuka. Dalam situasi semacam ini konstitusi tidak lagi menjadi landasan bersama, melainkan alat yang lentur dibengkokkan sesuai arah kekuasaan.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Di Meja kopi berbagai keputusan telah dimufakati sebelum sidang dimulai. Struktur terbentuk di atas meja kopi dan perdebatan dalam forum hanya menjadi formalitas belaka. Sungguh ironis ketika yang lurus bukan konstitusi melainkan persekongkolan yang dibungkus dalam basa-basi musyawarah.
Salah satu langkah fatal yang dilakukan oleh Maperwa FIP UNM adalah Meloloskan Calon Ketua Maperwa dan Calon Presiden BEM FIP UNM yang tidak memenuhi syarat pada tahap verifikasi berkas pertama sebelum dilakukannya pendaftaran ulang. Meloloskan calon yang tidak memenuhi syarat sama artinya dengan mendistorsi aturan yang telah disepakati bersama. Syarat dan ketentuan calon bukan disusun untuk dipermainkan, melainkan sebagai bentuk filter agar hanya individu yang kompeten, layak, dan sesuai kriteria yang dapat maju sebagai representasi mahasiswa. Ketika syarat tersebut dilanggar maka seluruh proses pemilihan kehilangan legitimasi moral maupun hukum.
Maperwa sebagai lembaga legislatif mahasiswa memiliki tanggung jawab konstitusional dalam menjaga integritas proses seleksi dan pemilihan calon pemimpin Lembaga kemahasiswaan. Ketika Maperwa dengan sadar meloloskan calon yang secara administratif maupun substansial tidak memenuhi syarat maka hal tersebut bukan sekadar pelanggaran prosedural tetapi merupakan bentuk pengkhianatan terhadap etika dan prinsip keadilan.
Ketika wakil mahasiswa mulai bermain-main dengan legitimasi, ketika mereka yang seharusnya menegakkan malah membengkokkan, maka lembaga itu bukan lagi representasi. Ia menjelma jadi ironi : Mengawasi sambil melanggar, menghakimi sambil bersembuyi.
Mereka sibuk bersidang tapi tak pernah mendengar, mereka lantang bersuara soal aturan tapi cepat lupa saat giliran mereka melanggar, Konstitusi bukan lagi kitab suci gerakan melainkan buku tua yang dibuka saat perlu, lalu di sobek diam-diam bila isinya mengganggu kepentingan.
Menghancurkan dari dalam, dengan melecehkan apa yang seharusnya dijaga. Dan jika suara kritis dituduh pemberontakan maka kita tahu bahwasanya yang mereka lindungi sebenarnya bukan nilai tapi kursi. Catatan ini mejadi pengingat bahwa konstitusi tak pernah salah, yang kerap khilaf adalah manusia yang pura-pura menjaganya. (*)
*Penulis: Jean