PROFESI-UNM.COM– Tidak ada yang tak ingin hidup damai tenteram, apalagi sehabis menyelesaikan pertengkaran hebat dengan orang lain yang akhirnya adu jotos. Tak ada yang lebih nikmat dibanding masalah yang lansung kelar sehabis melepaskan satu pukulan gomu-gomu no pistol tanpa kena counter pukulan balik dari lawan.
Namun, terkadang juga kenikmatan tidaklah selamanya seenak sila ke-5 Pancasila yang menghampiri kedua kubu sambil mengusap kepala mereka yang berseteru dan bilang, “everyting is gonna be okay, tenang saja saya adil kok, kamu yang enak habis mukul sedang kamu yang jadi samsak tinjunya gantian yah biar sama-sama enak.” Eleh.
Keyakinan saya sangat mantap kali ini bahwa nggak ada orang di dunia sekarang yang abis kena jotos di pipi kiri trus kasih pipi kanannya lagi. Preman berwajah hello kitty pun kalau ditanya, “Bang mau saya tampol juga nggak?” Belum dijawab, baru dengar saja rasanya sudah mampu menyulut api amarah.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Tapi jika dibandingkan orang-orang barbar itu masih kalah cemen dengan orang Indonesia yang tingkat kesabarannya Masya Allah.
Kata orang bijak, pemimpin adalah refleksi dari rakyatnya. Mau seberapa ampasnya kelakuan sang pemimpin di tempat lain, bawahannya pasti kena ghiba nggak jauh-jauh amat sama pemimpinnya, karena buah jatuh pasti tak jauh dari pohonnya, kalau diartikulasikan lewat kata-kata bijak : pemimpin merupakan kepribadian bangsa.
Ketika pemimpinnya sudah ngomong siap hidup damai dengan siapapun, maka itu seperti angin sepoi-sepoi yang lagi berhembus, tapi bagaimana kalau ajakan itu juga malah ditujukan ke pembunuh massal bernama corona? yang datang saat itu adalah comulonimbus.
Kalau bawahan yang dipimpin mah mesti nurut saja, tak ada artinya juga kalau ngebantah apalagi ini kan ajakan baik-baik, udah terlanjur ngomong juga, kalau peluru udah terlanjut keluar dari pistol, nggak bisa ditarik lagi, ye kan.
Bodoh amat kamu udah dari sono nya sabaran atau emosian, kalu emang hobinya naik emosi melulu kali ini mesti turun emosi dulu, sekali-kali jadi orang sabar. Konsekuensinya karena udah terlanjur yah walaupun sudah babak belur dihajar corona terima saja, ikhlaskan saja, kalau perlu kasih pipi kanannya juga.
Bayangin aja gimana rasanya abis dihantam orang tapi nggak bisa ngebalas, belum lagi dipaksa hidup berdampingan setelah kawan kita digempur abis tak pandang bulu hingga ribuan orang dibuat mokad.
Tak perlu rasanya nunjukin data, saya yakin para pembaca yang terhormat sudah hafal betul datanya, toh tiap hari juga nongol kok di tivi, tiap hari pasti liat di layar hp, sudah jadi rahasia umum, tp kalau semua sudah tau itu bukan lagi rahasia kan.
Dengan begitu, sudah cukup membuktikan bahwa Indonesia adalah negara yang paling sabar, tanpa perlu saya ceritakan histori nya panjang kali lebar.
Itu tadi dari sisi pandangan negara kita yang ngajak damai, trus gimana dengan sampean atas nama corona, mau nggak diajak damai ?
Tapi kalau dipikir-pikir lagi masa iya, kok virus diajakin damai sih, gimana ceritanya. Kalau emang bisa gitu, saya bahkan dari dulu telah mencoba sesuatu yang ekstrem, seperti menghentikan barang lima detik saja detak jantung saya sendiri. Emang bisa ?
Atau mungkin manusia udah terlanjur songong, karena dikasih gelar ‘khalifah’ sama gusti Allah, bahwa masing-masing dari kita semua adalah pemimpin. Walaupun tidak jadi pemimpin negara, gelar itu masih melekat dalam diri, buktinya kita punya yang namanya kehendak bebas cuy, konsekuensi logisnya mau langgar aturan Tuhan juga boleh kok, tapi ingat, dosa tanggungan masing-masing. Hari ini pun masih bisa mimpin langkah kita buat diarahkan kemana, mulut mau dicipratkan kemana, terserah kita, yang jadi pemimpinnya kan kita.
Mungkin karena saking terbiasanya enak-enakan jadi pemimpin nyuruh-nyuruh nggak pernah dibantah lantas ketika nyuruh berdamai dengan corona, seketika langsung nganggap doi nggak bakal nolak, toh selama ini kita kalau mau nyuruh tangan hantam tembok saja pasti diturutin, masa coronanya nggak.
Kalau emang gitu ceritanya, saya bakal nyuruh makanan datang sendiri lalu lompat ke dalam mulut saya, saya khalifahnya, ye kan. Apakah saya masih dianggap waras kalau seperti itu ?
Upaya buat berdamai dengan makhluk yang ada di luar lingkup kehendak kita merupakan kesia-siaan belaka, nyuruh-nyuruh dengan celoteh seperti itu cuma omong kosong, kalaupun iya cuma sebagai obat penenang saja, biar orang-orangnya pada nggak ikutan barbar sama negara kita yang sampai hari ini belum mampu menghentikan laju corona secara serius.
Buktinya saja belum kelar PSBB, mall udah dibiarin buka, bahkan di hari pertama bandara buka pengunjung sudah membludak layaknya lautan semut. Rindu sama kampungnya itu mah hal yang wajar, obatnya rindu kan ketemu langsung, yang tidak wajar adalah ketika semua itu sudah dibiarkan buka tapi masih ngotot buat nutup tempat ibadah. Bayangkan bagaimana rindunya umat beragama berada di rumah Tuhan mereka.
Mall dan tempat makanan hanya bisa menutupi kebutuhan relatif raga manusia, tapi tidak dengan kebutuhan mutlak spiritual mereka. Manusia membutuhkan keduanya untuk tetap hidup dan menjaga kewarasan.
Bahkan upaya itu kini diberi judul “New Normal”, jangan salah sangka ini judul sinetron. Sengaja dipakein baju baru biar gampang PDKT sama corona. Tapi, meskipun begitu praktiknya seperti lagi menghindari mantan, ets. Katanya lagi beradaptasi, tapi yang terlihat justru membatasi diri, dikasih syarat dan ketentuan cuy, mesti pakai Alat Pelindung Diri (APD) kalau mau bercengkerama dengan doi corona.
Padahal yang namanya adaptasi itu mestinya tak ada lagi sekat. Contohnya saja, tubuh manusia bisa beradaptasi dengan baik dalam kondisi dingin ataupun panas, gimana caranya? tubuh terlebih dulu harus bisa terbiasa, dan untuk itu biasanya dimulai dengan membuka diri dengan alam sekitar dalam kurung waktu beberapa lama. Tapi kalau mau beradaptasi dengan corona gimana caranya? Yah mesti buka APD lah. Konsekuensinya kan gitu, kalau takut nggak usah gagah berani ngajakin damai.
Kebayang nggak gimana perasaan doi yang diajak sehidup semati seperti itu tapi dikasih sekat penghalang di tengah-tengah, ingin meluk tapi ada tembok, pasti kecewa lah yah hihi.(*)
*Penulis adalah magang LPM Profesi UNM (Muhammad Resky)