
PROFESI-UNM.COM – Derita yang tak pernah surut mendera hidup Abdul Azis, seorang pria dari Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan. Kehidupannya dipenuhi oleh bayang-bayang penyakit yang menyerangnya tanpa ampun, mengubahnya menjadi sosok yang penuh kepiluan.
Kanker kulit telah merajai hidupnya seperti badai yang tak pernah mereda. Wajahnya yang dulunya penuh tawa dan senyuman, kini diselimuti oleh benjolan-benjolan yang mengerikan. Tubuhnya yang memiliki kelainan genetik ini disebut neurofibroma, sang tumor jinak.
Tumor ini menyerang saraf yang ada di seluruh permukaan tubuh, sehingga tubuhnya terisi oleh benjolan-benjolan tumor jinak. Dampak dari kondisi ini menjadikannya dikenal dengan julukan yang menggelikan seperti “manusia gelembung,” “manusia belalai,” hingga “manusia mutan” karena wajah mereka yang tampak aneh dan tak seperti kebanyakan orang. Alhasil, kehidupan yang semestinya penuh tawa dan canda, menjadi suram dan sendu.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Benjolan pertama kali muncul saat ia masih duduk di bangku sekolah dasar. Mereka tak hanya mengganggu kulitnya, tetapi juga menghancurkan rasa percaya dirinya. Rasa gatal yang tak tertahankan mendorongnya untuk menggaruk, dan benjolan-benjolan itu pun berkembang menjadi entitas yang ganjil dan kerap dianggap mengerikan. Bahkan wajahnya pun tak luput dari serbuan tumor ini.
Setiap kali kulitnya terluka, pria yang kerap disapa Assi ini terpaksa menjalani operasi karena kulitnya yang sangat sensitif. Namun meski operasi dilakukan, benjolan-benjolan tetap tumbuh kembali jika luka terbuka dibiarkan begitu saja. Meskipun Ia menerima saran untuk menjalani operasi pengangkatan seluruh benjolan di tubuhnya, namun keterbatasan biaya dan waktu yang dibutuhkan, membuat Assi hanya mampu mengobati luka fisiknya saja.
Dengan kondisinya yang seperti sekarang, tak sedikit orang yang takut mendekatinya, terutama anak-anak kecil yang mungkin belum memahami penyakit yang dideritanya. Banyak yang salah menilai dan mengira bahwa Ia mengidap penyakit yang mengerikan.
Belum lagi kondisi rumah yang peot dan tak terurus menjadi luka lain dalam hati Assi. Meskipun Ia tak bisa melakukan perbaikan yang diperlukan, Ia tetap berusaha menjalani hidupnya dengan semangat. Malam demi malam, Ia menghadapi kegelapan tanpa terangnya sinar lampu, menggambarkan betapa kerasnya perjuangan hidup yang dihadapinya.
Namun Assi sejatinya adalah seorang pejuang. Baginya semua itu telah menjadi bagian dari kesehariannya, seperti angin lewat yang tak pernah lelah berhembus. Meskipun tak ada yang ingin berteman dengannya, meskipun tatapan sinis dan rasa ketakutan mengepungnya setiap hari, ia terus berjuang. Kehidupannya yang keras mengajarkannya untuk mandiri, bahkan dalam kondisi yang seakan ingin terus melumpuhkan bingkai-bingkai hidupnya.
Setelah lebih dari setengah abad, tetapi semangatnya tidak padam. Namun, jalan kehidupan harus terus ditapaki. Dengan benjolan-benjolan yang menyelimuti tubuhnya, Assi tetap mencari nafkah. Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang Ia terima dari pemerintah hanya cukup untuk mengobati luka fisik yang tak pernah berhenti muncul. Olehnya, menggarap sawah dan merawat ayam menjadi rutinitasnya, mengisi hari-hari yang tak pernah terlalu cerah.
Meski begitu tak semua kehidupan Assi diwarnai hitamnya tinta pilu. Di tengah segala ketidakpastian, masih ada tetangga-tetangganya yang senantiasa memberikan bantuan dengan tulus. Untuk urusan rambut misalnya, walaupun seringkali ditolak tukang cukur, masih ada segilintir tetangga dengan sukarela membantu Assi mencukur rambutnya. Meski tak perna meminta, Assi merasa terharu dengan kebaikan yang terus mengalir dari tetangga-tetangganya. Bagi pria berusia yang sudah masuk masa senja ini, penampilan sejatinya bukanlah yang utama lagi. Baginya, yang lebih berharga adalah keberanian untuk menapaki setiap peristiwa kehidupannya dan menjadi pahlawan untuk dirinya sendiri. (*)
*Reporter: Resky Nurhalizah