PROFESI-UNM.COM – “Sibuk banget, sampai lupa makan” bukan lagi keluhan, tapi sering kali dianggap sebagai simbol keberhasilan di kalangan mahasiswa. Fenomena ini dikenal sebagai hustle culture, sebuah pola pikir yang menganggap produktivitas ekstrem sebagai tolok ukur prestasi dan kesuksesan.
Banyak mahasiswa merasa harus terus aktif, ikut organisasi, magang, lomba, webinar, bahkan membangun bisnis sambil kuliah agar terlihat berdaya saing dan “layak” dipandang sukses. Tidak jarang media sosial memperkuat tekanan ini, dengan unggahan pencapaian dan kesibukan yang terkesan glamor, meskipun di balik layar menyimpan kelelahan yang tak terlihat.
Fenomena hustle culture ini mendorong mahasiswa untuk selalu bergerak dan berkegiatan tanpa jeda. Sayangnya, pola ini tidak selalu sehat. Banyak yang akhirnya mengalami stres, burnout, kelelahan fisik, gangguan tidur, bahkan kehilangan arah karena merasa harus terus berlari tanpa henti.
Menurut pengamat pendidikan, pola ini muncul karena adanya tekanan dari sistem, lingkungan sosial, dan kebutuhan untuk membuktikan diri di tengah kompetisi yang ketat. Mahasiswa merasa jika mereka tidak terlihat sibuk, mereka akan tertinggal.
Meski begitu, mulai muncul kesadaran baru bahwa istirahat juga penting. Sebagian mahasiswa mulai menyuarakan pentingnya work-life balance, membatasi jadwal kegiatan, dan memberi ruang untuk menikmati waktu luang tanpa rasa bersalah.
Pada akhirnya, setiap mahasiswa memiliki jalan dan ritme masing-masing. Tidak semua orang harus sibuk untuk menjadi hebat, dan tidak semua kesuksesan bisa terukur dari seberapa padat jadwal harian. Mengenali kapasitas diri, memilih dengan sadar, dan memberi ruang untuk bernapas justru bisa membawa kita lebih jauh, tanpa harus kehilangan arah di tengah hiruk-pikuk ambisi. (*)
*Reporter: Nur Mardatillah