PROFESI-UNM.COM – Fakultas ilmu keolahragaan dan kesehatan seharusnya menjadi rumah yang menjadi pusat gerak, kedisiplinan intelektual, keterbukaan, dan partisipasi aktif. Sebagai fakultas yang mengusung nilai-nilai sportivitas dan kerja keras, FIKK UNM seharusnya sadar bahwa ruang akademik bukan hanya tempat duduk dan mendengar. Sehingga, dipenghujung masa jabatan dekan FIKK UNM, seharusnya menjadi periode ajang transformasi, peningkatan mutu, dan perbaikan sistem di lingkungan fakultas dengan membuka ruang evaluasi yang jujur. Sebab, banyak mahasiswa yang justru merasa bahwa fakultas ini telah kehilangan jiwanya, yang dimana kampus menjadi sunyi baik dari kegiatan akademik maupun dari denyut organisasi. Karena pada hakikatnya bahwa, jabatan adalah amanah yang harus di pertanggungjawabkan, bukan hanya di hadapan institusi, tapi juga di hadapan publik dan sejarah.
Masa Jabatan dekan seharusnya bukan sekedar soal waktu yang dihabiskan di ruang pimpinan, melainkan tanggung jawab moral, keberanian mengambil keputusan, dan kesungguhan memperjuangkan perubahan. Namun, apa jadinya jika masa jabatan hampir usai, tetapi masalah-masalah mendasar justru dibiarkan mengantung tanpa kepastian? Apakah mahasiswa masih harus berkuliah sambil mencari ruang kosong seperti bermain teka-teki? Apakah lembaga kemahasiswaan masih akan dibiarkan sunyi, tanpa arah, tanpa dukungan, dan tanpa nyawa?
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Fakultas seharusnya menjadi tempat tumbuh, tapi kini lebih mirip ruang tunggu. Setiap jam perkuliahan, mahasiswa akan berlarian membawa tas dan harapan, untuk mencari ruang kosong bukan untuk digunakan olahraga, tapi digunakan untuk menuntut ilmu. Penambahan jurusan tentu menuntut kesiapan infrastruktur yang memadai, namun pada realitasnya mahasiswa dari berbagai jurusan di FIKK UNM terpaksa bergiliran menggunakan ruang kelas, bahkan terkadang harus mengikuti perkuliahan diluar jam ideal atau di ruang yang tidak layak secara akademik. Bagaimana mungkin institute pendidikan membiarkan mahasiswa belajar dalam kondisi tidak layak, atau bahkan terpaksa kuliah malam hari karena ruang kelas tidak mencukupi? Perlu kita ketahui bersama bahwa ruang kelas bukan hanya soal tempat duduk dan papan tulis, melainkan sebagai symbol keseriusan dalam menjamin proses belajar yang bermutu.
Lebih dari itu, lembaga kemahasiswaan di lingkungan fakultas dalam hal ini BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa) sebagai representasi tertinggi mahasiswa di tingkat fakultas, telah vakum dalam waktu yang tidak singkat. Sehingga pertanyaan yang bisa kita ajukan adalah dimana posisi dekanat dalam hal ini? Apakah pembinaan kemahasiswaan bukan lagi bagian dari prioritas? Atau apakah vakumnya BEM dianggap sebagai sesuatu hal yang dimaklumi, karena dianggap mampu mempermudah urusan birokrasi?
Kehidupan organisasi mahasiswa bukan hanya urusan mahasiswa itu sendiri. Ia memerlukan ruang, dukungan, dan pembinaan dari pimpinan fakultas. Sebab, ketika organisasi vakum, bukan hanya kegiatan yang hilang, tetapi ekosistem demokrasi, diskusi, dan latihan kepemimpinan akan terputus. Lebih ironis lagi, kondisi ini terjadi di akhir masa jabatan dekan FIKK UNM. Apakah ini warisan yang ditinggalkan? Fakultas yang bertambah jurusan, tapi justru kehilangan jiwanya? Apakah ini akhir yang pantas bagi sebuah kepemimpinan akademik?
Tanggung jawab menyelesaikan persoalan mendasar seperti kurang nya ruang kelas dan vakumnya lembaga kemahasiswaan, tidak bisa lagi ditunda atau diwariskan begitu saja. Ini adalah PR nyata yang harus diselesaikan di sisa waktu jabatan. Dekan FIKK UNM tidak bisa hanya meninggalkan laporan akhir periode, tetapi harus meninggalkan perubahan yang kongkret. Jika tidak mampu menyelsaikan, setidknya Dekan FIKK UNM harus menunjukkan kesungguhan dan keberpihakan pada penyelesaian. Sebab sejarah kepemimpinan tidak hanya di ukur dari berapa lamanya jabatan, tapi dari seberapa besar keberanian untuk bertindak saat di butuhkan. Dan hari ini, Fakultas Ilmu Keolahragaan dan Kesehatan butuh tindakan, bukan alasan. (*)
*Penulis: Haikal