PROFESI-UNM.COM – Kampus saat ini harusnya menjadi ruang berekspresi semua civitas akademik tanpa membedakan suku, agama, ras, bahkan identitas gender. Namun kenyataannya diskriminasi gender dalam dunia akademik kampus masih marak. Bagaimana dengan UNM, apakah perbedaan dianggap sebagai masalah atau malah sebaliknya?
Beberapa waktu lalu jagat dunia maya dibuat ramai dengan perdebatan panjang soal pengakuan mahasiswa baru Universitas Hasanuddin (Unhas) yang menyebut dirinya bergender netral. Ia menyebut dirinya tak menganut gender laki-laki maupun gender perempuan.
Itu ia sampaikan saat Penyambuatan Mahasiswa Baru (PMB) Fakultas Hukum Unhas. Alhasil, dirinya pun banjir hujatan dari netizen yang melihat video pengakuan tersebut.
Kejadian ini berbuntut panjang dengan dikecamnya mahasiswa tersebut hingga permohonan maaf dari Rektor Unhas Jamaluddin Jompa atas diskriminasi di kampusnya itu. Dalam ruang kampus hal ini bukan kejadian baru, beberapa kampus juga pernah mengalami hal yang sama.
Menengok ke belakang pada 2017 lalu salah satu perguruan tinggi di Sumatera pernah mewajibkan mahasiswanya untuk mengisi surat pernyataan bebas LGBT. Stigma buruk ini masih langgeng hingga sekarang dan menyudutkan salah satu pihak.
Kebijakan ini semakin menyempitkan ruang gerak dari mahasiswa yang memiliki perbedaan. Padahal kampus seharusnya menjadi tempat dihapusnya diskriminasi terhadap mahasiswa yang memiliki identitas berbeda.
Laporan dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) menyebutkan diskriminasi pendidikan menempati posisi ketiga dalam jenis-jenis diskriminasi yang sering dialami orang-orang yang memiliki identitas gender berbeda dengan mayoritas masyarakat. Diskriminasi yang paling sering dialami adalah persekusi, disusul oleh upaya paksa pemidanaan.
Menurut, Mahasiswa Psikologi Andi Idul Saputra mengatakan tak ambil soal bila ada mahasiswa mengaku bukan bagian dari laki-laki atau perempuan. Hal itu menurutnya bagian dari kebebasan dalam berekspresi.
“Ini sering dianggap tabu lantaran beberapa orang tidak terbiasa dengan kategorisasi kelompok gender non-biner yang dianggap menyimpang,” katanya.
Ia pun menyebut maka kampus harusnya menerima hal tersebut. Bukan malah menolak dan mendiskriminasi mahasiswa tersebut.
“Gender atau jenis kelamin itu dua ji laki-laki dan perempuan, yang beragam itu orientasinya atau arah hasrat seksualnya, ada yang homoseksual, heteroseksual dan adapula yang biseksual. Kampus mesti menerima itu, tidak boleh diskriminatif terhadap mereka yang berbeda orientasi seksual dengan kebanyakan orang,” ujarnya.
Begitupun menurut Dosen Psikologi Sosial UNM, Muh. Rajan Piara. Ia menjelaskan dalam psikologi keberagaman gender bukanlah suatu penyakit dan tidak ada hak untuk menilai satu hal lebih baik daripada yang lain. Namun, fenomena keberagaman gender bahkan LGBT tidak bisa dilepaskan dalam konteks lingkungan dan budaya.
“Penelitian dalam psikologi itu mengikutsertakan lingkungan dan budaya, kalau kita menyandarkan pada asumsi bahwa tidak mungkin memikirkan budaya dan lingkungan sosial, maka jelas akan terjadi pertentangan terkait penerimaan orang non biner bahkan LGBT,” jelasnya
Direktur Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK), Ahmad Alex Junaidi mengatakan diskriminasi dalam institusi pendidikan terhadap keberagaman gender justru dapat berdampak buruk bagi pencapaian pendidikan di Indonesia. Orang dengan keberagaman gender banyak yang tidak dapat hak pendidikan yang lantas memengaruhi kualitas hidup mereka.
“Teman-teman didiskriminasi. Akibatnya tingkat pendidikan rendah, berujung pada dunia kerja semakin sempit,” ujarnya.
Serupa dengan itu, Pengamat pendidikan, Muhammad Mukhlisin menyebut insiden diskriminasi ini menjadi bukti mampetnya dunia pendidikan Indonesia dalam merespons keberagaman gender.
“Pendidikan itu bagian dari hak asasi manusia. Itu hak prinsipil setiap orang yang tidak boleh dilanggar, apa pun situasinya,” ujar.
Lebih lanjut ia mengatakan, seharusnya perguruan tinggi sebagai institusi pendidikan tidak boleh menghilangkan hak seseorang untuk mendapatkan pendidikan bagaimanapun bentuknya.
Namun yang terjadi saat ini tenaga pendidik tidak memiliki pemahaman utuh mengenai identitas gender. Sehingga, ketika ada mahasiswa yang berani menyuarakan identitas gender yang berbeda ataupun awam dikalangan masyarakat kerap mendapatkan respons negatif.
“Sudah seharusnya Kemendikbud memberikan pemahaman kepada tenaga pendidik, sehingga hal ini tidak perlu terulang lagi. Ini kasus yang mencuat tidak menutup kemungkinan ada kasus-kasus serupa,” katanya.
Adapun menurut Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan dan Alumni, Sukardi Weda maraknya pengakuan soal identitas gender tidak perlu disikapi secara frontal. Mahasiswa yang menyuarakan terkait pilihan gendernya itu tidak diberi batasan akan hak-haknya.
“Hak-hak mereka mengakses pendidikan harus tetap diberikan,” katanya.
Sukardi menjelaskan Univeritas Negeri Makassar sendiri sangat menjunjung tinggi kesetaraan gender. Namun, Ia tidak setuju bila mereka mempengaruhi orang lain dan nantinya menjadi komunitas.
“Kalau sudah menjadi komunitas, sudah banyak anggotanya, wah berat itu,” katanya. (*)
Reporter: Tim