PROFESI-UNM.COM – Mahasiswa sebagai bagian dari sivitas akademika memiliki peran sentral dalam mendorong terciptanya sistem kebijakan kampus yang transparan, akuntabel, dan partisipatif.
Di tengah dinamika pengelolaan pendidikan tinggi yang semakin kompleks, keterlibatan mahasiswa menjadi salah satu pilar penting dalam menjaga tata kelola kampus. Mulai dari tetap berpihak pada kepentingan publik, nilai-nilai demokrasi, serta integritas akademik.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Transparansi kebijakan kampus berkaitan erat dengan bagaimana informasi dikelola, disebarkan, dan dibuka kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Mahasiswa, sebagai kelompok terbesar di lingkungan kampus, sering kali menjadi pihak yang paling terdampak oleh berbagai kebijakan, mulai dari penetapan Uang Kuliah Tunggal (UKT), perubahan kurikulum, pembatasan kegiatan organisasi, hingga pembangunan fasilitas kampus.
Dalam konteks ini, mahasiswa memiliki peran sebagai pengawas dan mitra kritis. Keterlibatan mereka tidak terbatas pada aksi protes saja. Tetapi juga melalui mekanisme formal seperti forum dialog, keterlibatan dalam senat akademik, serta partisipasi dalam tim penyusun kebijakan.
Banyak organisasi mahasiswa, seperti Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM), dan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM), kini mendorong penguatan advokasi berbasis data dan kajian kebijakan sebagai bentuk kontrol sosial yang lebih konstruktif.
Sejumlah inisiatif mahasiswa telah menjadi contoh konkret dalam mendorong transparansi. Misalnya, munculnya gerakan petisi daring yang menuntut keterbukaan laporan keuangan kampus atau penyelenggaraan audiensi terbuka terkait perombakan kurikulum.
Di beberapa kampus, mahasiswa bahkan berhasil mendorong adanya audit partisipatif terhadap penggunaan dana kemahasiswaan. Dan juga transparansi dalam tender proyek pembangunan kampus.
Aksi-aksi ini sering dilengkapi dengan riset independen, survei terhadap mahasiswa, serta publikasi laporan kebijakan yang disusun oleh tim kajian strategis internal BEM. Upaya tersebut menunjukkan bahwa mahasiswa tidak hanya mampu menjadi pengkritik, tetapi juga kontributor aktif dalam pembentukan kebijakan yang berbasis bukti dan kepentingan kolektif.
Meski demikian, perjuangan untuk mendorong transparansi tidak selalu berjalan mulus. Masih banyak kampus yang menerapkan sistem birokrasi tertutup, minim pelibatan mahasiswa, dan cenderung represif terhadap kritik.
Tidak sedikit pula kasus di mana mahasiswa yang bersuara kritis justru mengalami intimidasi atau pembatasan aktivitas organisasinya.
Hal ini menunjukkan bahwa masih sangat perlu adanya perubahan budaya kelembagaan yang lebih inklusif. Pihak rektorat dan pengelola kampus harus untuk membuka ruang partisipasi yang lebih luas dan menjadikan mahasiswa sebagai mitra strategis dalam tata kelola perguruan tinggi. Kebijakan kampus seharusnya tidak hanya ada “untuk mahasiswa”, tetapi juga “bersama mahasiswa”.
Untuk menciptakan ekosistem kampus yang lebih transparan, perlu kolaborasi yang kuat antara mahasiswa, dosen, tenaga kependidikan, dan pimpinan kampus. Melalui komunikasi terbuka, forum-forum konsultatif, dan penguatan kapasitas kelembagaan mahasiswa, transparansi dapat menjadi prinsip dasar dalam setiap pengambilan keputusan.
Dalam jangka panjang, keterlibatan aktif mahasiswa dalam kebijakan kampus juga menjadi proses pembelajaran demokrasi yang esensial. Kampus bukan hanya tempat menimba ilmu, tetapi juga medan pembentukan karakter kepemimpinan. Mulai dari menjunjung tinggi etika, tanggung jawab sosial, dan keberpihakan pada nilai-nilai kebenaran. (*)
*Reporter: Khaiqal Wahyu