
PROFESI-UNM.COM – Polemik terkait perintah mengisi formulir Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) terjadi di salah satu Lembaga Kemahasiswaan (LK) Fakultas Ilmu Keolahragaan dan Kesehatan (FIKK) Universitas Negeri Makassar (UNM).
Kebijakan pemberian Surat Peringatan Ketiga (SP3) akibat tidak mengisi Google Form PKM menuai kritik tajam, terutama dari pihak mahasiswa yang terkena sanksi.
Alfiah sebagai Sekertaris Umum LK menjelaskan bahwa permasalahan ini merupakan akibat dari miskomunikasi internal yang melibatkan arahan terkait PKM. Ia menegaskan bahwa hingga saat ini belum ada keputusan resmi yang mengikat terkait kebijakan tersebut.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
“Ini sebenarnya masalah internal kami. Belum ada pernyataan resmi, jadi belum bisa dikatakan sah meskipun sudah ada nomor surat,” jelasnya kepada awak profesi, Jum’at (10/1).
Alfiah menekankan bahwa arahan untuk mengikuti PKM sebenarnya hanya berupa permintaan untuk mendaftar dan mencantumkan nama, tetapi banyak anggota yang menolak. Forum klarifikasi juga telah mereka buka, namun beberapa anggota yang keberatan justru tidak hadir.
“Ketua sudah memberikan arahan kepada pengurus untuk mendaftar dan mencantumkan nama saja, tetapi banyak yang menolak. Forum klarifikasi sudah kami buka, tapi mereka yang tidak setuju justru tidak datang,” ujarnya.
Tanggapan Korban Penerima SP 3
Di sisi lain, Rode, salah satu mahasiswa penerima SP3, memandang kebijakan ini sebagai tindakan yang tidak sesuai dengan regulasi organisasi. Ia mengungkapkan bahwa SP3 dikeluarkan tanpa melalui prosedural yang seharusnya.
“SP3 itu tidak boleh langsung diberikan. Harusnya ada tahapan-tahapan dulu, tapi ini langsung diberikan kepada pengurus,” tegas Rode.
Rode juga mengkritik kewajiban mengikuti PKM yang tidak berdasar pada Anggaran dasar dan rumah tangga (AD/ART) organisasi.
“PKM itu sah-sah saja jika mau dimasukkan ke dalam lembaga, tapi seharusnya bagi yang mau saja ikut. Persoalannya, kenapa kami mesti dapat SP3? Ini sudah tidak sesuai dengan regulasi dan AD/ART,” ujarnya.
Menurut Rode, kebijakan ini terkesan memaksakan program yang sifatnya opsional menjadi kewajiban, bahkan terjadi ancaman sanksi.
Yusuf sebagai Ketua Umum LK menyatakan bahwa pihaknya akan mengadakan forum diskusi untuk menyelesaikan permasalahan ini. Ia berharap agar isu yang seharusnya menjadi urusan internal tidak terus menjadi konsumsi publik.
“Untuk mengatasi masalah ini, kami mungkin akan mengadakan forum diskusi. Sebab, masalah ini sebenarnya adalah persoalan simpang siur di mana urusan internal kami keluar ke publik,” tegas Ketua LK.
Sementara itu, Rode dan rekan-rekannya mendesak pimpinan lembaga untuk memberikan pernyataan sikap dan meninjau ulang kebijakan tersebut.
“Kami mendesak pimpinan lembaga untuk meninjau kembali kebijakan ini. Harapan saya, ke depan lembaga bisa kembali membuka pedoman dan (AD/ART) agar kerja-kerja organisasi tidak keluar dari regulasi yang ada,” harap Rode. (*)
*Reporter Yusri saputra