Ahmadiyah Tetap Hidup dalam Bayang-Bayang Persekusi

Avatar photo

- Redaksi

Rabu, 1 November 2023 - 12:47 WITA

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Potret suasana perayaan satu abad Lajna imaillah (organisasi perempuan Ahmadiyah) di Masjid An-Nushrat Jl. Annuang, (Foto: A. Nur Ainun)

PROFESI-UNM.COMRana (bukan nama sebenarnya) terlihat berpikir, mencoba mengingat kembali pengalamannya saat berkuliah. Meski sudah lima tahun lamanya berlalu, apa yang dialaminya saat berkuliah di salah satu universitas Islam di Kendari, masih terekam jelas di dalam ingatan.

Awalnya, Rana cerita, tidak ada yang tahu kalau Rana adalah seorang Ahmadi, sebutan untuk jemaat Ahmadiyah. Rana berinteraksi dan berteman baik dengan sesama mahasiswa juga pengajar di lingkungan kampus. Hingga suatu hari, seorang dosen sedang menjelaskan sejarah agama Islam, dan dengan terang-terangan menjelek-jelekkan Ahmadiyah.

“Dia itu (dosen -red) menjelek-jelekkan. Katanya, Ahmadiyah itu agama baru, Ahmadiyah itu sesat, Ahmadiyah bukan Islam,” rinci Rana saat dihubungi pada (9/9).

ADVERTISEMENT

ads

SCROLL TO RESUME CONTENT

Awalnya, Rana hanya bisa diam tidak memberikan reaksi. Ia menunggu sesi tanya jawab agar dapat dipersilahkan memberikan pendapat. Penuh keyakinan, ia angkat tangannya dan menyanggah pernyataan dosen tersebut. Ahmadiyah bukan agama baru, Ahmadiyah tidak sesat, dan Ahmadiyah adalah Islam.

Apa yang dialami oleh Rana setelah jam kuliah itu menjadi hal yang tidak Ia sangka-sangka. Menjadi titik balik dari perundungan yang terjadi pada Rana. Teman-teman satu kelasnya mulai riuh mempertanyakan perihal kepercayaan-nya.

“Teman-teman saya pada heboh, oh Rana itu Ahmadiyah, ternyata kayak gini, Ahmadiyah itu sesat agama baru, ” tutur Rana dengan nada yang mulai tinggi.

Tak berhenti di situ, Rana mulai dijauhi oleh teman-teman satu kelasnya. Rana mencoba menjelaskan kepada teman-temannya terkait Ahmadiyah. Namun, tak membuahkan hasil.

“Teman-teman yang tadinya akrab mulai menjauh. Setiap ada tugas kerja kelompok tidak ada yang mengikutsertakan saya. Nilai mata kuliah pun menurun setelahnya,” kenang Rana.

Situasi ini bukan pertama kalinya dialami Rana. Di lingkungan rumahnya di Kendari, keluarga Rana juga mengalami penolakan. Masyarakat sekitar dan keluarga jauh Rana menjauhi mereka, keluarga inti Rana. Saat menjadi Ahmadi pada 1999 silam dan diketahui masyarakat, keluarganya mendapat ancaman akan dibunuh.

“Ketika tetangga tahu keluarga saya masuk Ahmadiyah mereka menjauh bahkan mereka membenci keluarga saya. Bahkan yang lebih parah, mau membunuh orang tua saya,” tambah Rana perlahan.

Kini, seiring banyaknya pendekatan serta penjelasan berulang-ulang dari keluarga Rana mengenai Ahmadiyah, perlakuan masyarakat sekitar pun turut berubah. Tetangga yang dulu membenci tanpa alasan pun akhirnya berdamai dan hidup berdampingan.

Kini, Rana berpindah dari Kendari dan menetap di Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan, mengikuti suami yang menjadi Mubaligh, bertugas mengajarkan agama Islam.

Rana menjelaskan selama Ia berada di Bone, Ia sudah memperkenalkan dirinya pada masyarakat sekitar bahwasanya ia adalah seorang Ahmadi. Rana merasa di Bone ia lebih diterima oleh masyarakat sekitar dibanding saat masih di Kendari.

“Saya sudah memperkenalkan diri, dan ada juga yang bertanya.  Alhamdulillah-nya sih mau menerima saya begitu,” ungkapnya.

 

(Berharap) Toleransi Dalam Masyarakat Heterogen

Tak mudah hidup menjadi seorang Ahmadi. Sudah dibatasi oleh peraturan-peraturan sedari awal. Salah satunya adalah Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga Menteri yaitu Menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri nomor 3 tahun 2008, yang membatasi kegiatan Ahmadiyah sebagai agama. SKB 3 Menteri ini kerap menjadi dasar oleh perangkat negara maupun masyarakat untuk mengamini pelarangan dan persekusi terhadap aktivitas Ahmadiyah.

Baca Juga :  Berjuang Demi Si Buah Hati

“Peraturan itu yang menjadi dasar bagaimana Ahmadiyah aktivitasnya sangat dibatasi makanya kalau mereka ingin melakukan kegiatan tidak terlalu diumbar di publik,” cerita Altriara Pramana Putra Basri selaku Koordinator Divisi Advokasi Lembaga Advokasi dan Pendidikan Anak Rakyat yang disingkat (LAPAR) untuk wilayah Makassar saat ditemui di sekretariat LAPAR (8/9).

Menurut Muhammad Iqbal Arsyad selaku Direktur Eksekutif LAPAR dalam pertemuan yang sama, kondisi masyarakat Ahmadiyah di Sulawesi Selatan khususnya Makassar, sedikit sulit dijelaskan.

“Mau dibilang baik baik saja tidak juga, mau dibilang tidak baik baik saja tidak juga, tetap ada masalah sebenarnya,” tambahnya. 

Ditambahkan Iqbal, tidak hanya SKB 3 Menteri yang menjadi sumber afirmasi untuk pelarangan dan perseksusi Ahmadiyah, begitu juga dengan fatwa MUI. Pasca Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa pada 2005 lalu yang menjelaskan bahwa, “Aliran Ahmadiyah di luar Islam, sesat dan menyesatkan”, ujaran kebencian terhadap Ahmadiyah tidak bisa dihentikan.

“Fatwa-nya sudah lebih dari satu dekade lalu, tapi dampaknya masih terasa hingga hari ini,” ujar Iqbal.

Bagi Iqbal, orang-orang yang melakukan persekusi terhadap Ahmadiyah atas dasar fatwa tersebut belum pernah benar-benar memahami Ahmadiyah. Tidak hanya di Kota Makassar, di seluruh Indonesia, jemaat Ahmadiyah kerap mengalami persekusi secara berkelanjutan. Kehilangan rumah dan tempat ibadah, dikucilkan di sekolah dan tempat bekerja, harus menunduk dan tidak bercerita terbuka terkait keyakinannya.

Mubaligh Jamaah Ahmadiyah Wilayah Makassar, Muhammad Yaqub Supriadi, mengamini hal tersebut. Ia setuju bahwa selain “fatwa tak berdasar” yang diberikan oleh MUI, tak adanya usaha untuk tabayyun atau belajar turut mengakibatkan kesalahpahaman dalam memahami Ahmadiyah yang dianggap bukan Islam.

Contohnya penggunaan Syahadat, yang dalam Islam memiliki arti kesaksian dan pengakuan yang diiringi oleh pemahaman, yang dianggap berbeda dari Islam pada umumnya. Anggapan tersebut disanggah oleh Yaqub.

“Masih banyak pejabat-pejabat MUI yang menganggap syahadatnya Ahmadiyah itu berbeda, padahal sama saja. Hal yang paling mendasar saja mereka masih salah,”  jelas Yaqub  pada saat ditemui di salah satu masjid milik Ahmadiyah di Makassar, Rabu (02/8).

Yaqub menyampaikan bahwa Ahmadiyah sering mengadakan komunikasi dengan pihak MUI nasional mengenai apa yang mendasari fatwa tersebut. Fatwa MUI tersebut mengacu pada  sembilan  buku tentang Ahmadiyah. Permasalahannya, sembilan buku tersebut hanyalah buku yang menceritakan Ahmadiyah, bukan buku yang ditulis langsung oleh orang Ahmadiyah.

“MUI yang memiliki pandangan sesat terhadap Ahmadiyah adalah MUI-MUI yang membuat fatwanya bukan berdasarkan tabayyun,” tegas Yaqub dengan wajah serius.

 

Ruang Yang Sama dalam Perspektif HAM

Di tengah keragaman lanskap agama di Indonesia, jemaat Ahmadiyah berjuang untuk mendapatkan pengakuan dan hak-hak yang setara dengan agama lainnya.

Yaqub menyebut kondisi Ahmadiyah di Makassar sudah diterima oleh masyarakat sendiri. Hal tersebut dilihat dari tiga indikator, yakni keamanan dari kekerasan verbal, simbolik, maupun fisik sudah berangsur-angsur hilang.

Sejalan dengan itu, salah satu pengurus Ahmadiyah wilayah Makassar, Mia Aslam, menuturkan, tak ada lagi persekusi kepada Ahmadiyah di Makassar yang terjadi pasca-penyerangan oleh FPI pada  2011 lalu.

“Mengenai kegiatan keseharian kami, sampai hari ini, alhamdulillah, enggak ada lagi kejadian seperti itu,” ungkap Mia Aslam saat ditemui di salah-satu rumah milik jemaat Ahmadiyah, Sabtu (19/8).

Baca Juga :  Founder Sejuk Jelaskan Keberagaman Dalam Perspektif HAM

Jemaat Ahmadiyah juga sudah mendapatkan izin mendirikan bangunan (IMB) untuk membangun masjid Ahmadiyah. Hal tersebut menunjukkan bahwa mereka sudah bisa memperlihatkan eksistensinya di tengah masyarakat Makassar. Tak hanya itu, Yaqub juga menyampaikan bahwa sering diundang dalam kegiatan pemerintah maupun instansi pendidikan.

Dalam ruangan lengang itu, Yaqub mengatakan masyarakat lebih toleransi terhadap warga minoritas, termasuk Ahmadiyah, saat ini.

Namun, mereka kadang masih menghadapi kekerasan secara simbolik. Kekerasan simbolik terakhir terjadi pada Februari 2023 di Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Kekerasan simbolik tersebut berupa munculnya keberadaan spanduk bertuliskan, “Kami Warga Makassar Menolak Keberadaan Ajaran dan Kegiatan AHMADIYAH di Seluruh Wilayah Makassar”. 

Yaqub berusaha untuk menanggapi hal tersebut dengan kepala dingin dengan bertemu langsung dengan Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kasbangpol) untuk membahas masalah tersebut. Mereka juga melaporkan hal tersebut kepada institusi kepolisian dan lembaga swadaya masyarakat (LSM). Setelah itu, akhirnya spanduk tersebut diturunkan. 

“Mereka menganggap Ahmadiyah itu organisasi terlarang. Ketika mereka sudah paham bahwa kami berbadan hukum yang jelas, agamanya Islam, kemudian solatnya sama, syahadatnya sama, nabinya sama, semuanya sama, ndak akan jadi masalah lagi,” jelas Yaqub.

Yaqub memiliki kecurigaan bahwa kekerasan simbolik tersebut dipicu oleh adanya perkumpulan dari pertemuan wilayah di di Gowa yang diadakan oleh Ahmadiyah sebelum itu. Kemungkinan, jelas Yaqub, orang-orang yang memasang spanduk tersebut merasa kecolongan dengan adanya kegiatan yang Ahmadiyah lakukan, serta kaget karena melihat mereka berkegiatan dengan massa yang banyak di tempat kami.

“Meskipun kami sudah diberi ruang yang hampir sama, namun kami belum mendapatkan ruang yang sama jika ingin berkumpul (atau) berkegiatan dalam jumlah yang besar,” ucap Yakub.

Yaqub menyampaikan bahwa pihaknya sering dipersulit oleh aparat jika ingin mengadakan kegiatan. Pasalnya, jika mereka menggelar kegiatan secara besar-besaran, maka mereka dinilai  berpotensi menimbulkan ketidakamanan. Akhirnya, kadang-kadang aparat Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) tidak memberikan izin terhadap kegiatan tersebut. 

Yaqub merasa hak-hak orang Ahmadi untuk berkumpul dan menjalankan ibadah belum sepenuhnya mereka rasakan.

Dengan segala kerumitan dan tantangan yang dihadapi oleh Ahmadiyah, Yaqub menyampaikan bahwa upaya untuk memahami satu sama lain dan hidup bersama dalam harmoni tetap menjadi tujuan yang sangat berharga.

Meskipun berhadapan dengan banyak hambatan, Yaqub menyampaikan bahwa pengikut Ahmadiyah, khususnya di wilayah Makassar, telah berjuang untuk mempertahankan hak-hak dasar mereka. 

Beberapa kelompok Ahmadiyah aktif dalam upaya dialog antar-agama. Kata Yaqub, Mereka berusaha membangun pemahaman dan kerjasama antara-agama, meskipun seringkali berhadapan dengan perlawanan dari kelompok-kelompok yang lebih konservatif. (*)

 

*Penulis merupakan  A. Nur Ainun, Mahasiswa Angkatan 2021 Program Studi Penddidikan Akuntansi Fakultas Ekonomi UNM

 

***

Liputan ini menjadi bagian dari program pelatihan dan hibah Story Grant “Anak Muda Ciptakan Ruang Aman Keberagaman di Media” yang dilaksanakan oleh Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK). Terlaksana atas dukungan rakyat Amerika Serikat melalui USAID. Isinya adalah tanggung jawab SEJUK dan tidak mencerminkan pandangan Internews, USAID, atau pemerintah AS.

 

Berita Terkait

Menelisik Tari Pakarena yang Melegenda
Berjuang Demi Si Buah Hati
Berita ini 0 kali dibaca

Berita Terkait

Minggu, 15 Desember 2024 - 23:41 WITA

Menelisik Tari Pakarena yang Melegenda

Rabu, 1 November 2023 - 12:47 WITA

Ahmadiyah Tetap Hidup dalam Bayang-Bayang Persekusi

Jumat, 29 September 2023 - 15:22 WITA

Berjuang Demi Si Buah Hati

Berita Terbaru

Pendidikan Sejarah

Pameran Sejarah Jadi Wadah Edupreneurship dan Wisata

Kamis, 8 Mei 2025 - 02:21 WITA

Fakultas Psikologi

Tim BKP Fakultas Psikologi Gelar Psikoedukasi Sex Education di PAUD Kartini

Kamis, 8 Mei 2025 - 02:00 WITA

Himanis

UMKM Fest Wadah Promosi dan Pemberdayaan UMKM Lokal

Rabu, 7 Mei 2025 - 02:27 WITA