
PROFESI-UNM.COM – Kuliah Umum yang digelar Jurusan Pendidikan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial (FIS) Universitas Negeri Makassar (UNM) mengahadirkan salah satu sejarawan Belanda, Marteen Hidskes. Marteen Hidskes sendiri adalah putra salah satu aktor dari peristiwa kelam Korban 40.000 Jiwa di Makassar yang terjadi pada tahun pada tahun 1946-1947.
Piet Hidskes ayah Marteen Hidskes merupakan korps elite dari Koninklijke Nederlansch-Indisch Leger (Pasukan Hindia-Belanda) di bawah komando Kapten Westerling yang menerima carte blanche untuk menumpas pemberontakan di Indonesia dan melakukan aksi pembersihan. Setelah mengikuti pelatihan selama beberapa bulan ia ditempatkan di Sulawesi Selatan dibawah pimpinan Kapten Raymond Westerling. Dia kemudian terlibat dalam ‘Peristiwa Sulawesi Selatan’.
Ayah Marteen Hidskes tidak pernah menceritakan apapun terkait kejadian kelam di Sulawesi Selatan itu. Sampai Piet Hidskes meninggal dunia pada tahun 1992, cerita itu dia bawa masuk ke liang lahat.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Hal ini kemudian memotivasi Maarten Hidskes untuk mengetahui peran mendasar ayahnya pada peristiwa kelam itu. Dia mendapatkan kepercayaan dari beberapa mantan tentara komando dari regu pasukan ayahnya, menganalisis surat-surat yang dikirim ayahnya dari Hindia, dan mempelajari laporan-laporan intelijen tentang teror di Sulawesi. Marteen Berhasil merekonstruksi peristiwa itu dan peran ayahnya, dalam buku ‘Di Belanda Tak Seorang Pun Mempercayai Saya’.
“Saya marah dengan ayah saya karena dia membunuh, tetapi dia adalah seorang prajurit dia harus menuruti koamandannya,” katanya di sela-sela pematerian, Ball Room Lt 2 Menara Pinisi UNM, Kamis (4/10).
Peristiwa yang dilakoni oleh Westerling ini memang memberikan efek kengerian bagi masyarakat. Penduduk digiring untuk berkumpul dilapangan Setelah itu merka diambil dua atau tiga orang dan dibunuh dengan cara yang keji. Efek kengerian ini bukan hanya di raskan oleh masyarakat tetapi juga pasukan tentara belanda termasuk ayah Maarten Hidskes.
Dalam beberapa catatan ayah Marteen memberikan keterangan bahwa, pada awalnya para pasukan itu mengira mereka akan dibawa ke indonesia untuk membantu mensejahtrakan masyaraktanya dan membantu mereka agar bebas dari penjajahan Jepang. Hal yang sangat berbeda terjadi ketika mereka mendarat di Sualwesi Selatan, mereka diberi titah untuk menjadi mesin pembunuh.
“di foto yang kita lihat, mereka sangat ceria ketika pasukan ini masih berada di Jakarta. Mereka menunjukkan sikap yang berbeda setelah berada di Makassar, mereka tertekan,” tuturnya.
Marteen pun menyatakan pendapatnya Belanda tidak memperoleh apa-apa dari perang di Sulawesi Selatan, kecuali jenazah pasukannya. Secara pribadi, sebagai keluarga mantan anggota Pasukan Hindia Belanda, dia bilang cukup sulit menerima kenyataan bahwa ayahnya ikut terlibat dalam operasi pembersihan itu. Dia mengakhiri diskusi ini dengan harapan akan ada lagi penelitian lebih jauh mengenai Peristiwa Sulawesi Selatan agar ada pemahaman lebih jelas dari dua bangsa.
*Reporter: Wahyu Riansyah