PROFESI-UNM.COM – Bayangkan suatu hari seorang calon guru ditanya, “Apa itu pedagogi?” Namun ia hanya terdiam, bingung, atau bahkan mengaku tidak tahu. Bagi sebagian orang mungkin ini hanya kekeliruan kecil, namun bagi mereka yang memahami tanggung jawab seorang pendidik, situasi ini bukan sekadar ironi, melainkan sebuah tanda bahaya besar. Sebab bagaimana mungkin seseorang yang bercita-cita menjadi pendidik, tidak memahami salah satu konsep paling dasar dalam dunia pendidikan?
Pedagogi bukanlah istilah asing yang hanya terpakai dalam jurnal ilmiah atau ruang kuliah pascasarjana. Ia adalah napas dari seluruh proses pendidikan itu sendiri. Pedagogi adalah seni dan ilmu mengajar. Ia mencakup strategi, pendekatan, metode, dan bahkan nilai-nilai yang mendasari hubungan antara guru dan murid. Seorang guru yang tidak memahami pedagogi ibarat tukang kayu yang tak tahu cara memegang kapak. Ia mungkin akan tetap “mengajar”, tapi tidak dengan kesadaran, tidak dengan prinsip, dan tidak dengan arah.
Kegelisahan ini berakar pada keprihatinan yang lebih luas: bagaimana kita membayangkan masa depan bangsa jika fondasi calon pendidik saja begitu rapuh? Kita bisa terus menyusun kurikulum yang hebat dari atas, merancang sistem yang modern, atau mengguyur dunia pendidikan dengan teknologi dan dana. Tapi jika orang yang berdiri di depan kelas tidak memiliki wawasan, maka semua itu akan runtuh oleh ketidaktahuan. Sistem bisa berubah, tapi kualitas guru adalah pondasi yang tak tergantikan.
Kenyataan bahwa masih ada calon guru yang tidak memahami istilah seperti pedagogi menunjukkan bahwa banyak dari mereka belum benar-benar menjadikan dunia pendidikan sebagai panggilan. Sebagian besar mungkin masuk ke dunia keguruan karena “terpaksa”, “pilihan terakhir”, atau karena “pekerjaan yang aman”. Akibatnya, mereka hadir tanpa semangat belajar, tanpa rasa ingin tahu, bahkan tanpa rasa tanggung jawab intelektual.
Pemikiran sempit seperti ini yang patut tersorot. Menjadi guru bukan sekadar bekerja, tapi membentuk manusia. Kalau wawasan guru sempit, maka sempit pula pemikiran murid-muridnya. Jika guru malas membaca, maka murid akan lebih malas lagi. Kalau guru tak tahu pedagogi, lalu atas dasar apa ia menyusun pembelajaran yang efektif dan bermakna?
Sudah saatnya dunia pendidikan tidak hanya menguji kompetensi teknis calon guru, tapi juga menanamkan kesadaran intelektual dan tanggung jawab moral mereka. Guru harus haus akan ilmu, terbuka pada kritik, dan terus belajar. Tanpa itu, kita hanya akan melahirkan pendidik-pendidik yang kaku, pasif, dan bahkan membahayakan perkembangan intelektual generasi penerus bangsa.
Indonesia tidak akan pernah maju jika yang berdiri di depan kelas tidak punya wawasan yang luas. Sehebat apapun sistem pendidikan yang terbuat dari atas, jika guru yang “dungu” yang menerapkannya, maka hasilnya tetap akan menyedihkan. Maka, memahami pedagogi bukanlah pilihan, tapi kewajiban dasar bagi siapa pun yang ingin menyebut dirinya “guru”.(*)
*Penulis: Baldhan Ma’ruf