[Opini] Kampus dan Budaya Diam: Siapa yang bertanggung Jawab?

Avatar photo

- Redaksi

Rabu, 23 Juli 2025 - 00:49 WITA

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Potret Wandy Arify, (Foto: Ist.)

Potret Wandy Arify, (Foto: Ist.)

 

PROFESI-UNM.COM – Pada ruang kuliah harusnya dosen adalah mentor, pembimbing yang mendorong mahasiswa untuk berpikir kritis. Namun melihat realitas yang ada pada saat ini, banyak dosen yang lebih suka duduk di singgasana kuasa. Mereka bicara, kita diam. Mereka memutuskan, kita hanya mengangguk. Diskusi ilmiah berubah menjadi monolog, sementara keberanian mengkritik dibungkam oleh ancaman nilai.

Fenomena ini bukan sekadar persoalan individu, tetapi budaya. Sistem akademik kita masih terjebak feodalisme. gelar dianggap simbol kekuasaan, bukan amanah. Proses bimbingan skripsi kerap jadi ajang uji kesabaran, bukan ruang belajar. Mahasiswa dibiarkan menunggu tanda tangan berminggu-minggu, seolah waktu mereka tak berharga.

Kampus harus mengingat bahwa pendidikan bukan panggung kekuasaan. Dosen seharusnya menjadi fasilitator, bukan penguasa. Jika ruang kuliah terus menjadi kerajaan kecil, kita hanya akan melahirkan generasi penurut, bukan pemikir merdeka. Sudah saatnya relasi akademik dibangun di atas dialog setara, bukan ketakutan.

Bangsa ini membutuhkan individu yang kreatif, dan berani mengambil keputusan, bukan mereka yang hanya sekadar menunggu perintah. Oleh karena itu budaya feodalisme yang ada di setiap kampus harus berakhir. Kampus harus berani menciptakan sistem yang transparan, adil, dan dialogis agar semua pihak bisa berkembang.

Baca Juga Berita :  Libur Bukan Alasan Berhenti Berkembang

Memberi ruang bagi kritik, menghargai perbedaan, dan membangun suasana diskusi adalah langkah kecil yang dapat membawa perubahan besar. Pendidikan yang merdeka hanya akan terwujud jika relasi akademik di atas kesetaraan, bukan ketakutan. Sejatinya, ilmu tumbuh bukan di bawah bayang-bayang kuasa, tetapi dalam atmosfer kebebasan berpikir. (*)

*Penulis : Faried Wajdy Arifay

Berita Terkait

Seni Berbicara, Kemampuan Persuasif dalam Berkomunikasi
[Opini] Tubuh kalian bukan tanah kolonial, Pikiran kalian Bukan pula Budak Patriarki
[Opini] Wajah Kampus Hari Ini: Sepi Pemikiran, Sibuk Formalitas
[Opini] Genosida Biological Diversity
[Opini] Tahun Ajaran Baru, Ketimpangan Lama
[Opini] Ketika Rambut Gondrong Lebih Dipermasalahkan daripada Mutu Pendidikan
[Opini] Membaca Adalah Momen Dialektika dengan Orang-Orang Hebat Sepanjang Masa
[Opini] Dilema Status Kewarganegaraan Indonesia
Berita ini 286 kali dibaca

Berita Terkait

Rabu, 23 Juli 2025 - 00:49 WITA

[Opini] Kampus dan Budaya Diam: Siapa yang bertanggung Jawab?

Jumat, 18 Juli 2025 - 17:13 WITA

Seni Berbicara, Kemampuan Persuasif dalam Berkomunikasi

Jumat, 18 Juli 2025 - 17:07 WITA

[Opini] Tubuh kalian bukan tanah kolonial, Pikiran kalian Bukan pula Budak Patriarki

Kamis, 17 Juli 2025 - 23:56 WITA

[Opini] Wajah Kampus Hari Ini: Sepi Pemikiran, Sibuk Formalitas

Kamis, 17 Juli 2025 - 23:23 WITA

[Opini] Genosida Biological Diversity

Berita Terbaru

Potret Sambutan Ketua Panitia, (Foto: Ist.)

KILAS LK

ICE SPORT FT UNM 2025 Bangun Sportivitas dan Keakraban

Rabu, 23 Jul 2025 - 00:43 WITA

Suasana Lomba Makan Mie Pakai Sumpit (Foto: M. Zaky Asryan. A)

Agendasiana

Dies Natalis UNM Adakan Lomba Makan Mie

Rabu, 23 Jul 2025 - 00:38 WITA

Potret laporan Panitia Saat pembukaan ASM 2025, (Foto: Ist.)

KILAS LK

ASM Menjadi Ajang Pengabdian HMJ Fisika UNM

Rabu, 23 Jul 2025 - 00:31 WITA

Ilustrasi aplikasi pencatat keuangan, (Foto: Int.)

PROFESI WIKI

Tips Bikin Budget Pakai Aplikasi Keuangan

Rabu, 23 Jul 2025 - 00:26 WITA