
Awal Senjakala KKN
Kehadiran program MBKM membawa angin segar bagi dunia pendidikan. Terobosan baru membuat mahasiswa bisa lebih kreatif dan berkembang. amun, gagasan Mendikbud Nadiem Makarim yang diluncurkan pada 2020 lalu, juga membawa dampak “buruk” bagi program kampus lainnya. Salah satunya program kuliah kerja nyata (KKN).
KKN yang dulu jadi idaman, kini berangsur tak lagi dilirik mahasiswa. Mahasiswa cenderung lebih memilih program MBKM. Alasannya sederhana, bisa dilaksanakan di perkotaan, bukan lagi ke pelosok daerah untuk mengabdi ke masyarakat.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Seperti diketahui, dalam MBKM terdapat beberapa program memungkinkan mahasiswa untuk terjun langsung ke perusahaan atau instansi. Program itu yakni Kampus Mengajar serta Magang dan Studi independen Bersertifikat (MSIB). Jika ikut program ini, mahasiswa tak perlu lagi ikut KKN. Keuntungan lainnya, mahasiswa bisa mendapatkan uang bulanan.
Nominalnya cukup besar, Rp600 ribu per bulan untuk Kampus Mengajar dan Rp2,8 juta per bulan untuk MSIB. Sementara jika KKN, tak akan ada fasilitas itu. Murni pengabdian mahasiswa ke masyarakat. Belum lagi konversi SKS, KKN hanya dikonversi maksimal enam SKS, sementara MBKM dapat menjadi 20 SKS. Artinya, jika mahasiswa menyelesaikan program MBKM, memungkinkan mereka untuk langsung memprogramkan skripsi di semester berikutnya. Ini bisa jadi “jalan pintas” mahasiswa untuk segera merengkuh gelar sarjana.
“Lebih baik pilih MBKM saja daripada KKN, soalnya KKN hanya sekadar membantu warga di pelosok saja, itu pun pakai dana sendiri dan ujung-ujungnya hanya buat program itu-itu saja,” kata Nurul Khalifa, alumni program MBKM UNM saat diwawancarai beberapa waktu lalu.
Alumnus Jurusan Desain Komunikasi Visual (DKV) FSD ini, menyebut program MBKM ini sangat berguna bagi mahasiswa dalam mempersiapkan diri masuk dunia kerja.
“Selain dapat pengalaman kerja yang secara langsung turun di lapangan, dapat juga ilmu mahal dari ini program, apalagi mitra-mitra Kampus Merdeka orangorang hebat semua,” ucapnya.
Salah satu Mahasiswa Magang MBKM, Akbar Dwi Sapoetra juga mengaku lebih memilih MBKM dibanding KKN karena merasa bisa lebih mengembangkan kemampuannya dalam dunia kerja. Apalagi, kata alumnus Fakultas Psikologi, banyak keuntungan bisa ia dapatkan. “Contohnya kan saya magang di luar Sulsel yaitu Kalimantan. Tiket pesawat pulang pergi dibayarkan. Saya juga dapat biaya hidup dan ada sertifikatnya,” kata Akbar yang magang di perusahaan retail Alfamidi.
Menurut Akbar, ia merasakan pengalaman nyata bekerja sebagai karyawan, tak sekadar mahasiswa magang. Praktik dinilai lebih baik dibanding teori yang diterima di dalam kelas. “Relasi yang ditawarkan juga saya rasa bagus. Saya jadi punya relasi dari tempat kerja seperti manajer dan karyawan. Selain itu dapat teman-teman dari berbagai daerah yang mengikuti program magang juga,” ucap dia.
Merosotnya peminat KKN terlihat dalam dua tahun terakhir sejak MBKM diluncurkan. Data dihimpun dari Pusat KKN, tahun ini total peserta KKN sebanyak 2.320 mahasiswa. Menurun sekira 50 persen dari tahun 2021 sebanyak 4.703, saat program MBKM sudah bisa mengkonversi KKN.
Hal itu seiring dengan terus bertambahnya mahasiswa mengikuti program MBKM setiap tahunnya. Setidaknya ada 3.000-an mahasiswa mendaftar program MBKM setiap tahun sejak diluncurkan. “Mahasiswa UNM yang sudah mengikuti program MBKM itu sekitar 3.000 tiap tahunnya, jadi total 12 ribu sejak 2020,” kata Ketua MBKM UNM, Khaeruddin.
Sementara itu, Kepala KKN UNM, Arifin Manggau tak memungkiri KKN mulai sepi peminat. Namun, Arifin mengatakan harus tetap mewadahi mahasiswa yang lebih memilih MBKM. Sebab itu adalah program kementerian, dan wajib dijalankan UNM.
“Semua perguruan tinggi harus mewadahi, tetapi kita juga kembali kepada keinginan mahasiswa sendiri, mau KKN atau tidak,” kata Arifin. Dikatakan Arifin, saat ini peserta KKN memang masih cukup banyak dari mahasiswa semester tujuh. Untuk semester ganjil 2023 saja, ada 1.752 mahasiswa diberangkatkan KKN. Rinciannya 1.120 KKN Terpadu, sisanya Reguler.
Hanya saja, saat ini mahasiswa semester lima mulai berbondong-bondong memprogramkan MBKM. Artinya, di semester tujuh nanti, mereka sudah tak perlu berKKN. “Angkatan yang program itu (MBKM) semester lima, sehingga biasanya dikaitkan dengan mata kuliah KKN. Sementara mata kuliah KKN berada di semester tujuh, sehingga misalnya angkatan 2021 ya tentunya dia program di semester lima,” kata Arifin.
Bagi Arifin, KKN memiliki kesan sendiri yang tak bisa dirasakan jika ikut program MBKM, khususnya magang di perusahaan.
“Ada keseruan dalam hal cerita-cerita rakyat. Mahasiswa bisa lebih banyak menceritakan kisahkisahnya selama KKN, sehingga itu menjadi tradisi wacana di masyarakat tentang kesan-kesan yang ada,” ucap dia.
Ditanya soal pengabdian ke masyarakat, Arifin menyebut KKN lebih tepat sasaran. MBKM juga membuat mahasiswa terjun ke masyarakat, tapi hanya masyarakat sudah berkembang dan maju. “Tetapi kalau KKN itu betulbetul tepat sasaran dimana filosofi di KKN itu bagaimana mengembangkan dan membangun desa, kemudian membuat inovasi untuk menjadi andalan desa, jadi sangat berbeda,” ucapnya lagi.
Arifin pun mengaku tak khawatir KKN akan kekurangan peminat. Ia percaya, KKN sejak dahulu memiliki nilai berbeda dan penuh kebermanfaatan bagi masyarakat. Tak hanya ke mahasiswanya saja. Pusat KKN pun mengaku menyiapkan rencana terbaik untuk program KKN.
“Upaya kita bagaimana membangun rencana yang baik, bahwa KKN itu jauh lebih berdampak positif karena kita tepat sasaran pengabdian kita ke masyarakat, dalam artian bagaimana kita membangun desa, mencerdaskan anak-anak desa, anak-anak kampung yang ada di pelosok sana,” ujarnya.
Arifin juga mengungkapkan beberapa program andalannya di Pusat KKN, yang dinamai program Pitue “Salah satunya adalah digitalisasi desa, kemudian kehidupan sehat bersih, program-program penuh dengan air, bagaimana menciptakan iklim bercocok tanam hidroponik. Ketika mahasiswa beradaptasi terhadap lokasi, saya kira banyak program bisa dikembangkan,” ujarnya.
Inovasi atau Ditinggal Pergi
Menurutnya peminat KKN, mau tak mau membuat Pusat KKN UNM harus segera beradaptasi dan membuat inovasi. Jika tidak, bisa saja peserta KKN di masa yang akan datang akan terus menurun. Hanya mahasiswa “terpaksa” ikut KKN, karena tak lolos program MBKM.
Kepala Pusat KKN UNM Arifin Manggau sudah menyadari kondisi ini. Arifin mengaku akan segera menyusun program-program baru untuk KKN. Tujuannya membuat mahasiswa tertarik ikut.
“Ke depannya Insyaallah Pusat KKN akan menggelontorkan program-program atau jenisjenis KKN yang sifatnya bisa dikerjasamakan dengan kementerian,” kata Arifin.
Pusat KKN, kata Arifin, membidik bidang-bidang baru yang bisa dijadikan program KKN, misalnya entrepreneur.
“Kita terutama di UNM, misalnya KKN entrepreneur, padahal kita ini kan adalah universitas yang berkarakter kewirausahaan, ya tentunya harus juga ada jenis KKN yang bersifat seperti itu,” kata dia.
Mahasiswa mengikuti KKN ini, nantinya akan mendampingi UMKM di pelosok atau daerah. Gagasan-gagasan mahasiswa KKN diharapkan bisa meningkatkan kesejahteraan UMKM, seperti penghasilan atau keuntungankeuntungan dari bisnis lainnya.
Ada juga KKN Maritim. Arifin mengaku berupaya menawarkan program ini ke Kementerian Kelautan.
“Kita mencoba menawarkan kepada Kementerian Kelautan, karena dia punya program-program kemaritiman yang tentunya kita mengirim mahasiswa kita ke pelosok-pelosok kepulauan, mendampingi masalah-masalah nelayan,” katanya.
“Mahasiswa nantinya mendampingi nelayan, misalnya menumbuhkembangkan akar rumput laut, kemudian bagaimana mengembangkan kepulauan, dan lain sebagainya,” sambung Arifin.
Ada juga gagasan KKN Wisata atau Budaya. Mahasiswa diterjunkan untuk membantu mengembangkan desa-desa wisata.
“Ada programnya pemerintah dengan program KKN Wisata Desa, kenapa tidak kita respon positif. Kita menciptakan jenis KKN yang bersifat budaya, kemudian karena kita punya jurusan yang berkarakter budaya, kita melahirkan program-program itu, kemudian kita sharing dengan program pemerintah,” kata Arifin menerangkan.
Keberadaan mahasiswa, kata Arifin lagi, menata desa lokasinya, menjadi desa wisata.
“Benar-benar menjadi desa wisata, karena sekarang saya lihat banyak desa-desa yang mengatakan dirinya desa wisata tapi ternyata hanya semacam sulap sesaat, tetapi ini bagaimana betulbetul mahasiswa menciptakan, betul-betul berkarakter dan bernuansa,” paparnya.
Mengapa Harus Jauh ke Sulbar?
Jika dulu mahasiswa KKN ditempatkan tersebar hampir di 24 kabupaten/kota di Sulawesi Selatan. sekarang, penempatan lokasi KKN menyebar hingga ke Provinsi Sulawesi Barat (Sulbar). Bahkan pada periode 2021-2022, mahasiswa KKN hanya dikirim ke Sulbar saja.
Baru pada tahun ini, Pusat KKN mengembalikan dua daerah di Sulsel yakni Kabupaten Barru dan Kota Parepare.
Kepala Pusat KKN Arifin Manggau menyebut, masyarakat di Sulbar masih sangat butuh kehadiran mahasiswa KKN untuk membantu memajukan desa-desa mereka.
“Selama ini banyak mahasiswa bertanya kenapa harus selalu di Sulbar? Karena sejak sebelum Prof Husain Syam juga sudah sering ada di Sulbar dan memang di sana masyarakatnya masih lemah dan butuh asupan-asupan pikiran positif mahasiswa,” katanya.
Menurutnya, KKN di Sulbar jangan hanya melihat jaraknya yang begitu jauh.
“Masyarakat di sana juga sangat perlu diperhatikan dan masih banyak hal yang harus kita lihat, bukan cuma karena jauh atau apa, tapi itu tadi masyarakat di sana sangat-sangat perlu diperhatikan oleh kita,” pungkasnya.
Ichawanul Muharram, mahasiswa Jurusan Pendidikan Sejarah adalah salah satu mahasiswa yang melaksanakan KKN di Sulbar. Mahasiswa angkatan 2018 ini bahkan lebih memilih ke Sulbar dibandingkan ikut program MBKM.
“Waktu semester 6 dan sempat ditawari oleh ketua prodi untuk mengikuti program MBKM, tapi saya lebih pilih KKN,” kata Ichwanul saat diwawancara beberapa waktu lalu. Ichwan yang ditempatkan di Kecamatan Malunda, Kabupaten Majene, mengaku senang di Sulbar. Ia bias mengenali budaya masyarakat setempat.
“Saya bisa kenal budaya luar, terutama tentang adat Maulid dan cara Patamma Alquran (Khatam Quran). Saya kemarin juga ditempatkan di SMA Negeri 1 Malunda, dan siswanya juga bagus untuk diajak kerja sama,” ucap dia.
Alumni UNM lainnya, Muhammad Sultan, juga mengaku senang bisa KKN di Sulbar, tepatnya di Mamuju.
“Mungkin yang paling berkesan adalah dari segi penuturan bahasa kesehariannya, Di Tapalang (Mamuju), ada banyak ragam bahasa tetapi mereka mengakui itu semua bahasa Mamuju, gotong-royong warga masih sangat kental sehingga ketika kami lakukan program kerja itu sangat terbantu, persatuan masyarakatnya juga sangat baik,” kata alumni Jurusan Pendidikan Fisika angkatan 2019 ini.
Sosiolog: KKN Nilai Sosialnya Lebih Tinggi
Sosiolog UNM, Supriadi Torro menyebut Pusat KKN harus membuat kebijakan agar KKN tetap lestari. Sistem kuota salah satu cara disarankan dosen Sosiologi UNM ini.
“Kampus harus buat strategi. Kita membuat syarat-syrat tertentu, yang mudah sakit-sakitan magang sajalah tidak usah KKN. Yang punya suami atau istri yah magang saja, jangan lagi KKN,” kata Supriadi saat diwawancarai beberapa waktu lalu.
Menurutnya, harus ada patokan jelas bagi mahasiswa ingin ikut MBKM.
“Melalui tes orientasi. Jadi apa tujuan anda magang, dan dimana mata kuliah itu, lalu apa yang anda mau capai di situ. Kalau tidak jelas, masuk di KKN Reguler dulu,” ucapnya.
Regulasi tersebut, kata Supriadi, penting dibuat agar KKN tetap diminati mahasiswa.
“Ini persoalan tanggung jawab. Saya menganggap KKN Reguler adalah KKN yang membawa suasana kebatinan antara mahasiswa dengan masyarakat, dibanding dengan mahasiswa dengan pimpinan perusahaan. Itu nilai sosialnya jauh lebih tinggi,” tegasnya.
Ketua Unit Penjaminan Mutu FIS-H ini meminta mahasiswa tak meninggalkan KKN. Sebab KKN dapat meningkatkan solidaritas.
“Ada kohesi yang dibangun antara masyarakat dan mahasiswa. Kalau itu tidak terjadi, tidak akan membahagiakan dan pasti mahasiswa hanya menjadi musuh. Tapi karena terjadi kohesi baik, maka berkumpullah orang latar belakangnya berbeda menjadi satu kesatuan. Itu pasti lancar seluruh program yang ada,” ucapnya.
Lanjut Supriadi, semakin menurunnya peminat KKN disebabkan banyak faktor.
“KKN Reguler itukan capek, terus keluarkan uang, makan atau masak sendiri di tempatnya, pokoknya macam-macam. Kalau KKN Tematik itu memang kita (mahasiswa) yang digaji, jadi lebih menjanjikan memang dibanding KKN Reguler,” ujar dia.
Bagi Supriadi, KKN maupun MBKM sebenarnya sama baiknya. Tinggal mahasiswa harus bijak memilih.
“Keduanya adalah pilihan, jadi lebih bagus mahasiswa menentukan mana yang menguntungkan secara pribadi bagi dia. Baik dari sisi ekonomi, sosial, dan budaya. Silakan ukur sendiri ,” katanya.
“Hanya memang MBKM fokus pada beberapa aspek tertentu. Tapi kalau KKN Reguler itu betul-betul membangun masyarakat, berkolaborasi dengan masyarakat. Sehingga dampaknya terlihat lebih besar,” sambungnya.
Bagi Supriadi, KKN dampak sosialnya besar karena melibatkan emosi, mahasiswa tidak kenal menjadi kenal.
“Dari situ banyak dilalui dan banyak tantangannya. KKN Reguler itu tidak ada format diikuti, jadi dia sendiri yang mengikuti, karena dia muncul dari gagasan,” pungkasnya.
Jenis-jenis KKN
- KKN Reguler (Non-Pendidikan) Masa KKN 2 bulan, dilakukan mahasiswa dalam bentuk kerja sosial di daerah tertentu. Mahasiswa ditempatkan di wilayah terpencil, desa, atau kota dengan berbagai kebutuhan masyarakat.
- KKN Terpadu (Prodi Pendidikan) Masa KKN 8 Minggu efektif (3 bulan) mengabdi ke sekolah dan desa. KKN terpadu digabung KKN dan PKL, khusus anak kependidikan fokusnya di sekolah SD-SMA.
- KKN Tematik Masa KKN 45 hari, dilakukan dalam bentuk proyek dengan tema tertentu yang relevan dengan kebutuhan masyarakat. (Kerjasama dengan instansi tertentu). KKN dilakukan di luar jadwal KKN terpadu dan regular, dengan berbasis proyek dosen atau mahasiswa.
- KKN Pembelajaran Pemberdayaan Masyarakat (PPM) Masa KKN 45 hari, adalah kegiatan intrakurikuler wajib yang memadukan pelaksanaan Tri Dharma Perguruan Tinggi dengan metode pemberian pengalaman belajar dan bekerja kepada mahasiswa, dalam kegiatan pemberdayaan masyarakat.
- KKN Internasional Masa KKN 2-3 bulan, melibatkan mitra luar negeri. Jadwal KKN Internasional memungkinkan berbeda dengan KKN reguler karena pelaksanaanya sesuai dengan jadwal disepakati dengan mitra luar negeri.
Program Kampus Merdeka
Kampus Mengajar
- 1 semester (5 bulan)
- Konversi 20 SKS termasuk KKN
- Terlibat langsung sebagai mitra guru, kepala sekolah, dan tenaga kependidikan di sekolah sasaran dalam menyusun dan melaksanakan strategi pembelajaran di sekolah yang kreatif, inovatif, dan menyenangkan
- Minimal semester 4 dengan IPK minimal 3.00
- Biaya hidup 600rb/bulan
Magang dan Studi independen Bersertifikat (MSIB)
- 1 semester (5 bulan)
- Konversi 20 SKS termasuk KKN
- Biaya hidup Rp2,8 juta/bulan
- Minimal semester 4 dengan IPK minimal 3.00
- Keberlanjutan karir Pengalaman kerja berharga untuk digunakan setelah lulus dari U-universitas
- Pengetahuan tentang praktik terbaik dalam industri dan sektor diminati
Pemberdayan dan Pengabdian Masyarakat Penelitian dan Riset
- 1 semester (5 bulan)
- Konversi 20 SKS termasuk KKN
- 1 tim berisi 20 orang dengan 3 dosen
- Membuat inovasi di pelosok
- Dibiayai pemerintah.(*)
*Tulisan ini telah terbit di Tabloid Edisi 268 November 2023