
PROFESI-UNM.COM – Di balik semangat produktivitas yang digaungkan di kalangan mahasiswa, muncul fenomena baru yang mulai disorot toxic productivity. Istilah ini merujuk pada dorongan berlebihan untuk terus-menerus bekerja dan merasa bersalah saat beristirahat, bahkan ketika tubuh dan pikiran sudah lelah.
Banyak mahasiswa kini merasa perlu untuk selalu terlihat sibuk. Mulai dari mengikuti berbagai organisasi, magang, kuliah, hingga mengelola bisnis atau proyek pribadi. Media sosial turut memperkuat tekanan ini dengan menampilkan citra mahasiswa yang aktif dan serba bisa, menciptakan standar keberhasilan yang kadang tidak realistis.
Toxic productivity bukan hanya tentang bekerja keras, melainkan ketidakmampuan untuk berhenti. Mahasiswa yang mengalaminya kerap merasa bersalah saat beristirahat, menghindari waktu santai, dan merasa tidak cukup meskipun telah melakukan banyak hal.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Cari Judul Skripsi? Begini Cara Menemukannya Tanpa Stres
Fenomena ini berdampak pada kesehatan mental. Stres berkepanjangan, burnout, kecemasan, dan hilangnya motivasi belajar menjadi risiko nyata. Alih-alih menjadi lebih produktif, mahasiswa justru bisa kehilangan fokus dan arah karena beban yang terlalu besar.
Pakar psikologi pendidikan menyebutkan bahwa penting bagi mahasiswa untuk mengenali batas kemampuan diri. Istirahat dan waktu luang bukanlah bentuk kemalasan, melainkan bagian dari manajemen energi yang sehat. Menjaga keseimbangan antara tugas akademik, kegiatan non-akademik, dan waktu pribadi adalah kunci agar produktivitas tetap bermakna.
Beberapa kampus mulai merespons isu ini dengan pendekatan lebih humanistik. Layanan konseling diperkuat, seminar tentang kesehatan mental diadakan, dan ruang diskusi dibuka agar mahasiswa dapat saling berbagi pengalaman tanpa stigma.
Kesadaran akan bahaya toxic productivity menjadi penting dalam dunia pendidikan tinggi yang semakin kompetitif. Mahasiswa diharapkan mampu membedakan antara produktif yang sehat dan produktif yang memaksa. Menghargai waktu istirahat, menetapkan prioritas, serta memberi ruang untuk diri sendiri adalah langkah awal menciptakan keseimbangan hidup di tengah tuntutan yang terus berkembang.(*)
Reporter: Nurul Adhani Ilham