PROFESIUNM.COM – Langkah kakinya suda mulai tidak kokoh lagi untuK menapak. Guratan di wajahnya sudah tidak bisa ia sembunyikan. Hanya satu dua helai rambut hitam yang masih tersisa di kepalanya. Sudah seperdua abad lebih, perempuan itu hidup di pinggiran Kota Bone.
Walau di usianya yang sudah senja itu, Mesang masihkerap kali mengurusi sawah dan ladang. Padahal, tenaganya sudah tidak sekuat kala muda, ia terpaksa harus bekerja demi rupiah untuk kelangsungan hidupnya. Beruntung, masih ada suami dan Aulia yang setia menemaninya. Saat ini, mereka berdualah yang bisa menghadirkan senyum di wajah Mesang.
Meski penat sehabis bekerja belum hilang betul, Mesang dan suaminya harus bergegas pulang jika langit sudah mulai menghitam. Ini semua karena pandangannya yang sudah tidak setajam dulu. Lagi-lagi, faktor usia tidak bisa berbohong. Sesampai di rumah, Mesang pasti menyempatkan waktunya untuk bermain dengan Aulia. Maklum, umurnya masih delapan tahun, ia masih bisa merengek jika tidak ditemani bermain.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
“Uduang bawang cucuku nak kalau selesai dari ladang nasaba’ orang tuanya kerjai’ di desa lain,” ujarnya.
Hidup di pinggiran Kota Bone membuat Mesang tak dapat mengenyam bangku sekolah. Bahkan untuk sekedar menuntaskan Sekolah Dasar (SD) saja ia tidak mampu. Jadi wajar, jika Mesang tak mengenal huruf. Untuk mengeja namanya saja, mungkin ia tak pernah.
Mesang adalah salah satu masyarakat Desa Pinceng Pute, Kecamatan Ajanglae yang terpaksa menjadi buta aksara. Namun, semangatnya untuk belajar membaca dan mengeja patut diacungi jempol. Terbukti dari seringnya ia ikut dalam kelas baca yang dibuat mahasiswa Pendidikan Luar Sekolah (PLS) Universitas Negeri Makassar (UNM).
“Biar orang sudah nenek-nenek kalau soal belajar jangan mi’ malu,” ucapnya sembari mulutnya mengeja kata perkata.
Kedatangan mahasiswa PLS memang membawa misi untuk memberantas buta aksara di pedesaan terpencil. Dua bulan mereka ditugaskan untuk mengabdi di desa tersebut. Mesang mengaku sangat bersyukur atas hadirnya mahasiswa ini. Karena merekalah keinginan Mesang untuk belajar membaca, menulis, dan berhitung bisa tercapai.
“Syukkuru’ nak kalian datangi kita ini kasih belajar ki’,” pungkasnya. Ditemani Aulia, Mesang menyusuri jalan perkebunan untuk mendatangi tempat belajar. Rasa hausnya akan ilmu membuat dirinya selalu antusias di tengah tubuhnya yang mulai rentan dan cepat letih. Wanita paruh bayah ini selalu merasa senang ketika waktu belajar tiba. Walau harus belajar di malam hari, Mesang menyebut itu bukan sesuatu yang bisa mematahkan semangat belajarnya.
“Maaf bu guru terlambat ka’ baru pulang dari ladang,” katanya sambil menunjukkan senyum khasnya. Tak terasa dua bulan berlalu saat kedatangan mahasiswa itu. Sedikit demi sedikit, Mesang sudah mulai pandai mengeja dan menulis. Setidaknya, ia sudah mulai bisa membaca meski masih terbata-bata. “Bisa-bisa mi’ sedikit ini kubaca, hehe,”
tawanya.
Tiba saatnya mahasiswa itu harus pulang, tangis haru tak bisa lagi dibendung. Pelupuk kedua mata Mesang tiba-tiba basah dibanjiri tangisan. Hanya pelukan erat yang bisa ia hadiahi sebelum para mahasiswa itu pulang ke Kota Daeng. Ucapan terima kasih juga tak habis ia ucapkan.
“Salama’ki’nak, terima kasih banyak,” ujarnya sambil melingkarkan tangannya ke tubuh mahasiswa.(*)
*Berita ini telah terbit di Tabloid LPM Profesi edisi 237