PROFESI-UNM.COM – Pada ruang kuliah harusnya dosen adalah mentor, pembimbing yang mendorong mahasiswa untuk berpikir kritis. Namun melihat realitas yang ada pada saat ini, banyak dosen yang lebih suka duduk di singgasana kuasa. Mereka bicara, kita diam. Mereka memutuskan, kita hanya mengangguk. Diskusi ilmiah berubah menjadi monolog, sementara keberanian mengkritik dibungkam oleh ancaman nilai.
Fenomena ini bukan sekadar persoalan individu, tetapi budaya. Sistem akademik kita masih terjebak feodalisme. gelar dianggap simbol kekuasaan, bukan amanah. Proses bimbingan skripsi kerap jadi ajang uji kesabaran, bukan ruang belajar. Mahasiswa dibiarkan menunggu tanda tangan berminggu-minggu, seolah waktu mereka tak berharga.
Kampus harus mengingat bahwa pendidikan bukan panggung kekuasaan. Dosen seharusnya menjadi fasilitator, bukan penguasa. Jika ruang kuliah terus menjadi kerajaan kecil, kita hanya akan melahirkan generasi penurut, bukan pemikir merdeka. Sudah saatnya relasi akademik dibangun di atas dialog setara, bukan ketakutan.
Bangsa ini membutuhkan individu yang kreatif, dan berani mengambil keputusan, bukan mereka yang hanya sekadar menunggu perintah. Oleh karena itu budaya feodalisme yang ada di setiap kampus harus berakhir. Kampus harus berani menciptakan sistem yang transparan, adil, dan dialogis agar semua pihak bisa berkembang.
Memberi ruang bagi kritik, menghargai perbedaan, dan membangun suasana diskusi adalah langkah kecil yang dapat membawa perubahan besar. Pendidikan yang merdeka hanya akan terwujud jika relasi akademik di atas kesetaraan, bukan ketakutan. Sejatinya, ilmu tumbuh bukan di bawah bayang-bayang kuasa, tetapi dalam atmosfer kebebasan berpikir. (*)
*Penulis : Faried Wajdy Arifay