
Di tengah gelombang informasi yang melanda dunia modern, muncul sebuah pernyataan yang memprovokasi pemikiran: “Jika kau ingin menguasai orang bodoh, bungkuslah segala hal dengan pengetahuan.” Sebuah kalimat yang menggambarkan betapa mudahnya pengetahuan — atau lebih tepatnya, bagaimana pengetahuan disampaikan — dapat dimanfaatkan untuk mempengaruhi dan bahkan mengendalikan orang banyak. Dalam konteks ini, istilah “bodoh” bukanlah sekadar merujuk pada kekurangan intelektual, tetapi lebih pada ketidaksiapan seseorang untuk menyaring informasi dan berpikir kritis.
Di era informasi seperti sekarang, kita sering terjebak dalam dunia yang penuh klaim, berita sensasional, dan opini yang dikemas sebagai kebenaran mutlak. Banyak pihak yang tahu bahwa untuk memengaruhi orang, terutama mereka yang kurang kritis terhadap apa yang mereka terima, salah satu cara yang paling efektif adalah dengan membungkus suatu ide atau agenda dalam bentuk pengetahuan yang tampaknya sahih dan terverifikasi. Faktanya, banyak yang merasa bahwa apa yang dikatakan oleh seseorang yang terlihat berwibawa atau disampaikan dengan cara yang menarik adalah kebenaran, tanpa menyelidiki lebih jauh apakah informasi tersebut benar-benar akurat.
Kita melihat fenomena ini di berbagai sektor, mulai dari politik hingga media sosial. Para pemimpin politik, selebriti, dan influencer sering memanfaatkan pengetahuan yang mereka miliki, atau setidaknya tampaknya mereka miliki, untuk membentuk opini publik. Dalam banyak kasus, apa yang mereka sajikan bukanlah pengetahuan yang berasal dari penelitian ilmiah yang sahih, tetapi lebih kepada narasi yang dibangun untuk mendukung agenda tertentu. Penyampaian yang terorganisir dan retoris, yang dibungkus dengan data atau statistik yang menarik, bisa sangat meyakinkan meski tidak sepenuhnya akurat.
Tantangan ini menjadi semakin besar dengan hadirnya teknologi digital yang memungkinkan informasi — baik yang benar maupun yang salah — tersebar dengan cepat. Informasi palsu atau hoaks dapat dengan mudah menyebar, apalagi jika dikemas dengan cara yang menarik atau mengandalkan sumber yang tampak kredibel. Orang yang tidak memiliki keterampilan literasi digital atau kemampuan berpikir kritis seringkali sulit membedakan antara fakta dan kebohongan. Mereka cenderung mempercayai apa yang mereka baca atau dengar, terutama jika disampaikan dengan penuh keyakinan dan otoritas.
Namun, menyalahgunakan pengetahuan untuk menguasai orang dengan cara ini membawa dampak yang jauh lebih serius daripada sekadar memperdaya orang. Hal ini bisa memperburuk polarisasi sosial, merusak kepercayaan publik terhadap institusi atau informasi yang sahih, dan bahkan memanipulasi opini untuk kepentingan kelompok atau individu tertentu. Dalam beberapa kasus, hal ini bisa berujung pada ketidakadilan, kebijakan yang merugikan banyak pihak, atau penyebaran kebencian.
Lalu, apa yang bisa kita lakukan untuk melawan pengaruh negatif pengetahuan yang disalahgunakan ini? Salah satu langkah pertama adalah dengan meningkatkan kesadaran akan pentingnya literasi informasi. Masyarakat perlu diberi pemahaman bahwa pengetahuan yang disajikan kepada mereka haruslah kritis dan dapat dipertanggungjawabkan. Pendidikan literasi media, baik di sekolah maupun dalam masyarakat umum, harus ditekankan agar orang dapat mengenali tanda-tanda informasi yang manipulatif atau salah.
Selain itu, kita juga perlu mengajak orang untuk lebih aktif berpikir kritis, bertanya, dan memverifikasi informasi sebelum mempercayainya. Dengan demikian, pengetahuan tidak hanya menjadi alat untuk menguasai, tetapi juga menjadi alat untuk memberdayakan dan memperkaya pemahaman kita tentang dunia.
Sebagai penutup, dalam masyarakat yang semakin kompleks dan penuh informasi ini, kita harus berhati-hati dengan cara pengetahuan disampaikan dan diterima. Pengetahuan seharusnya bukanlah alat untuk menguasai, tetapi untuk membebaskan. Oleh karena itu, penting bagi kita semua untuk menjaga integritas informasi, mengembangkan kemampuan berpikir kritis, dan tidak mudah terjebak dalam “bungkus” pengetahuan yang tidak jelas asal-usulnya. Menguasai orang melalui pengetahuan yang salah hanya akan menciptakan masyarakat yang semakin terpecah, sementara pengetahuan yang sejati seharusnya mempererat dan membangun kesadaran kolektif yang lebih baik. (*)
*Penulis adalah Ibnu Rasul Rahman, Mahasiswa Fakultas Bahasa dan Sastra (FBS) UNM