PROFESI-UNM.COM – Siti, begitu nama panggilannya. Seorang anak perempuan dengan disabilitas yang mempunyai keinginan menjadi seorang penata rias profesional. Semangatnya untuk menggapai cita-citanya itu melebihi keterbatasan fisik yang ia alami sejak lahir.
Ia tak mampu mengucapkan kata per kata dengan sempurna. Ia bercerita, sejak lahir dirinya mengalami bibir sumbing. Alhasil, hal itu rupanya berpengaruh terhadap kemampuan berbicara Siti yang akhirnya mengalami masalah.
Beberapa tahun terakhir, usaha pengobatan bergantung pada terapi gratis yang dilakukan oleh Rehabilitasi Berbasis Masyarakat (RBM) setempat. Itu pun hanya sekali sebulan. Penanganan yang lamban membuat anak sulung dari dua bersaudara ini menjadi seseorang dengan disabilitas hingga menginjak usia remaja.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
“Saya pernah dioperasi waktu usia dua bulan. Tapi cuma itu saja, saya juga tidak punya BPJS untuk berobat,” katanya.
Walau mengalami gangguan dalam berbicara, hebatnya, Siti tidak perlu menggunakan bahasa isyarat untuk dapat berkomunikasi dengan orang-orang di sekitarnya. Bakat Siti pun berkembang tatkala dirinya mengikuti kelas tata rias yang digelar pada awal November lalu. Saat itu, Rehabilitasi Berbasis Masyarakat (RBM) Kabupaten Bandung Barat tengah membuka beberapa kelas khusus bagi penyandang disabilitas. Program ini sengaja dilakukan sebagai wadah pelatihan kerja bagi penyandang disabilitas.
Dengan mengendarai sepeda motor, Siti bersama Kang Lalan selaku ketua RBM di desa setempat menuju lokasi kelas tata rias yang berjarak 40 kilometer dari tempat tinggal Siti. Dalam kelas tersebut, Siti bersama puluhan teman-teman lainnya belajar bersama sesuai bidang yang diminati.
“Kelasnya macam-macam, mulai dari menjahit, melukis, dan beberapa kelas lain. Tapi saya lebih tertarik belajar kelas tata rias,” katanya.
Kesempatan emas ini dimanfaatkan Siti sebaik-baiknya. Meski kelas telah usai ia tetap tekun untuk mengembangkan bakatnya. Tanpa bantuan seorang tentor, Siti pun dengan bersemangat melatih keterampilan yang digelutinya. Bahkan untuk mengisi waktu kosong, ia seringkali berlatih merias melalui tutorial tayangan youtube. Koleksinya Lengkap. Tangannya dengan cekatan memainkan peralatan make up yang dimilikinya. Terbukti dari hasil riasan yang telah ia lakukan terhadap beberapa teman maupun kerabatnya. Ia pun berharap bakatnya dapat terus berkembang dan menjadi seorang penata rias profesional nantinya.
“Doakan ya kak, semoga nanti saya bisa menjadi penata rias. Supaya kalau kakak menikah saya saja yang rias,” candanya sembari membubuhkan bedak di atas kulit wajah saya.
Di samping keinginannya menjadi seorang penata rias, Siti mempunyai satu impian lagi yang nyatanya harus diurungkan. Harapannya untuk tetap bersekolah hanya menjadi sekadar angan. Biaya sekolah yang terbilang mahal membuat dirinya harus putus sekolah.
Kondisi ekonomi keluarga yang kurang mampu membuatnya terpaksa hanya mengecap pendidikan hingga SMP saja. Padahal ia sangat berharap dapat melanjutkan pendidikan hingga ke jenjang SMA. Orang tua yang hanya bekerja sebagai buruh serabutan tak mampu membiayai pendidikan Siti. Sebagai seorang anak, Siti juga tak ingin memaksakan kehendak kepada orang tuanya yang penghasilannya hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari.
“Bapak kerjanya buruh serabutan. Kalau ada yang panggil bantu tebang bambu atau mencangkul di sawah baru kerja lagi,” tuturnya.
Meski terhimpit masalah ekonomi, Siti tak mau berdiam diri. Ia pun berniat membantu perekonomian keluarga dengan menjadi buruh bungkus teh dan keripik di kedai milik tetangganya. Penghasilannya tak seberapa, namun ia tetap semangat untuk bekerja.
“Kadang seminggu dapat 70 ribu rupiah. Tapi tidak rutin juga tiap minggu, kadang kosong. Tunggu panggilan saja. Saya juga pernah bekerja di pabrik seblak cuma tiga hari tapi tidak dibayar,” katanya.
Kendati demikian, Siti tetap kuat dan mandiri menjalani hiruk-pikuk kehidupan. Ia adalah anak yang periang. Tak pernah terbersit di wajahnya gurat kesedihan. Dukungan dari keluarga pun membuat Siti tetap percaya diri. Meskipun ia merupakan anak berkebutuhan khusus tetapi dirinya tidak mau diperlakukan berbeda. Ia tetap menjalani hidup sebagaimana anak-anak pada umumnya. Meski tak dapat dipungkiri, cemoohan maupun ejekan seringkali ia rasakan. Terlebih saat masih duduk di bangku sekolah.
“Kadang ada beberapa teman laki-laki yang bully saya,” kisahnya.
Siti pun berharap, anak dengan disabilitas mendapat perhatian lebih dalam hal pengembangan keterampilan. Menurutnya, setiap anak memiliki kelebihan masing-masing di tengah keterbatasan. Hanya saja, kesempatan tersebut kadang dibatasi oleh akses untuk menggali dan mengembangkan keterampilan yang dimiliki.
“Kita semua sama saja. Kami juga memiliki cita-cita seperti teman-teman yang lain,” jelasnya.(*)
#berpihakpadaanak
#youthlivein
#savethechildren
*Penulis: Ratna, Mahasiswa Program Studi Pendidikan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial (FIS) Universitas Negeri Makassar (UNM)
Catatan:
*Tulisan ini diangkat dari kisah hidup seorang anak dengan disabilitas di Kabupaten Bandung Barat.
*Segala informasi dalam tulisan ini dirangkum berdasarkan pengalaman Penulis selama mengikuti kegiatan Youth Live-in IDEAL bersama anak dengan disabilitas di Kabupaten Bandung Barat. Kegiatan yang berlangsung pada 23-28 November 2018 ini diselenggarakan oleh Yayasan Sayangi Tunas Cilik mitra Save the Children bersama Tempo Institute.
*Nama anak dalam tulisan ini sengaja disamarkan untuk perlindungan identitas