PROFESI-UNM.COM – Program Sekolah Rakyat besutan Kementerian Sosial adalah langkah besar dan penting. Dirancang sebagai sekolah berasrama dan gratis untuk anak-anak dari keluarga miskin ekstrem, program ini menjanjikan kurikulum adaptif, fasilitas layak, dan pembebasan biaya total. Di tengah krisis ketimpangan pendidikan, ide ini layak dipuji.
Namun, setelah mencermati implementasinya, muncul tanda tanya besar: apakah Sekolah Rakyat benar-benar menjangkau mereka yang paling membutuhkan? Atau justru hanya mengulangi kesalahan lama dengan wajah yang lebih rapi?
Pemerintah menyebut telah melakukan berbagai metode sosialisasi, mulai dari door-to-door oleh pendamping PKH, pertemuan P2K2, hingga koordinasi daring ke pemerintah daerah. Tapi jika kita periksa lebih dekat, metode-metode ini jauh dari cukup.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Pendamping PKH memiliki beban kerja yang berat: validasi data, pelaporan bansos, hingga edukasi keluarga. Menambah sosialisasi Sekolah Rakyat ke daftar tugas mereka tanpa dukungan khusus hanya membuat jangkauan mereka terbatas dan tidak merata. Apalagi, banyak daerah 3T yang bahkan tidak memiliki pendamping aktif.
P2K2 hanya menyentuh keluarga penerima PKH aktif, padahal banyak keluarga miskin ekstrem berada di luar skema bantuan sosial karena tidak terdata atau tertinggal proses pembaruan. Di sisi lain, sosialisasi melalui pemerintah daerah sering kali tidak turun hingga ke akar rumput — informasi berhenti di kantor dinas, tidak sampai ke RT/RW, PKBM, atau tokoh masyarakat desa.
Lebih parah lagi, sistem pendaftaran hanya berbasis daring: mengisi Google Form, mengunggah surat pernyataan, dan menyetujui komitmen. Bagaimana keluarga yang tidak punya ponsel pintar, tidak bisa baca-tulis digital, atau tinggal di daerah tanpa sinyal bisa mendaftar? Realitanya, program ini ramah birokrasi, tapi tidak ramah rakyat.
Lebih ironis, banyak lokasi Sekolah Rakyat justru dekat sekolah negeri dan PKBM yang telah beroperasi lama. Ini menimbulkan tumpang tindih dan kesan bahwa program ini justru membangun baru di tempat yang sudah tersedia layanan pendidikan, alih-alih membuka akses di daerah yang benar-benar tertutup. Jika beralasan bahwa program ini masih baru dan perlu uji coba pada pinggiran kota artian pemerintah kurang matang pada tahap persiapan
Pemerintah juga menerapkan sistem asrama penuh di Sekolah Rakyat, dengan harapan dapat mendukung anak-anak dari latar belakang ekonomi sulit untuk belajar secara intensif. Namun pendekatan ini tidak selalu tepat. Bagi banyak keluarga miskin, melepas anak untuk tinggal jauh dari rumah bukanlah pilihan yang mudah
Selain itu, pembangunan asrama di kota justru menyulitkan anak-anak dari pelosok karena mereka tetap harus berpindah jauh untuk mengakses sekolah. Jika tujuan program adalah mendekatkan pendidikan kepada yang tak terjangkau, maka membangun sekolah berasrama di kota hanya menciptakan jarak baru.
Lebih jauh lagi, argumen bahwa sistem asrama dibutuhkan untuk membentuk karakter juga patut dikritisi. Pembentukan karakter tidak hanya ditentukan oleh pola asrama, tetapi oleh lingkungan belajar yang inklusif, relasi sosial yang sehat, dan partisipasi aktif dalam komunitas. Karakter tidak lahir dari sekat tembok asrama, tetapi dari keterlibatan sosial yang otentik.
Di saat yang sama, rekrutmen guru pun tidak membumi. Pemerintah mempriorotaskan guru ASN atau PPPK dan mewajibkan lulusan PPG, menutup ruang bagi tutor lokal, relawan komunitas, atau guru nonformal yang telah bekerja di akar rumput bertahun-tahun. Padahal mereka punya kedekatan budaya, pengalaman lokal, dan komitmen sosial yang lebih kuat daripada tenaga yang dikirim dari pusat tanpa ikatan dengan komunitas setempat.
Program ini tetap penting. Tapi pemerintah harus terbuka terhadap evaluasi. Beberapa hal mendesak yang perlu dilakukan antara lain:
- Sistem pendaftaran ganda: daring + berbasis komunitas (RT, kepala dusun, PKBM).
- Verifikasi sosial lapangan: bukan sekadar by-name-by-address statistik.
- Keterlibatan PKBM dan lembaga nonformal lain sebagai mitra seleksi dan penyuluh.
- Jalur afirmasi bagi guru lokal atau relawan komunitas untuk terlibat dalam pengajaran.
- Prioritaskan lokasi di wilayah 3T, bukan pusat kota.
Sekolah Rakyat adalah gagasan emas. Tapi jika pelaksanaannya tak menyentuh rakyat, maka ia akan menjadi sekolah tanpa rakyat. Gedung bisa dibangun, seragam bisa dibagi, tapi akses dan keberdayaan tidak bisa diimpor dari kota ke desa.
Tulisan ini dibuat bukan untuk menentang program sekolah rakyat, tetapi sebagai intrupsi kepada birokrasi agar idealitas program berjalan sebagaimana mestinya. Karna, yang paling miskin di negeri ini tak butuh belas kasihan mereka butuh sistem yang memahami cara mereka hidup dan berjuang. (*)
*Penulis: Faisal Akbar