PROFESI-UNM.COM – Bau sampah menyengat, suara mesin eskavator, dan lalu-lalang truk menyambut saya saat memasuki Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Terjun di kecamatan Medan Marelan, Jumat siang awal desember itu.

TPA yang berlokasi di ujung kota Medan itu menampung 1.500 ton sampah dari segala penjuru kota per harinya. Sejak tahun 1993 TPA Terjun sudah beroperasi sebagai TPA di Medan, oleh karena pengelolaannya yang kurang maksimal maka TPA tersebut hanya bisa difungsikan 2 hingga 3 tahun lagi. Hal itu diungkap Razali, salah satu pengawas di TPA Terjun.

“Karena pakai teknik Open Dumping, jadi sampahnya menumpuk. Ya paling bisa digunakan 2 sampai 3 tahun lagi,” kata Razali.

Jalan masuk ke lokasi seluas 15 hektar itu dilapisi oleh lumpur abu-abu yang dapat menenggelamkan kaki saat dilewati. Selama dalam perjalanan menuju lokasi liputan, terlihat penampakan bukit sampah yang menjulang tinggi. Uniknya di seberang bukit sampah itu terdapat tambak-tambak yang jernih.

Saya berjalan menaiki tanjakan sampah yang cukup tinggi ditemani terik matahari yang cukup menyengat tubuh siang itu.

Tetapi, itu semua tidak menjadi penghalang untuk menghampiri tempat tinggal narasumber.

Reportase lapangan kali ini dimulai dengan meliput keluarga Ali yang bertempat tinggal di pinggir bukit sampah TPA Terjun. Pemukiman yang padat dan rapat dengan jalan lumpur berselimut lumut. Terdapat gerobak yang digunakan Ali untuk mengangkut sampah ke tempat penyortiran.

Ali, seorang penyortir sampah di kawasan TPA Terjun duduk berselonjor di teras rumahnya. Pria kurus berambut ikal itu mengenakan jersey merah usang kebanggaan tim sepakbola yang kerahnya sudah robek. Sembari berbincang dengan tetangganya di seberang rumah, saya menghampiri Ali.

Lima menit berlalu, istrinya ikut bergabung. Ardia namanya, sebut Ali memperkenalkannya pada saya. Tak lama Ali mulai mengisahkan kehidupannya yang dari kecil sudah bermukim di TPA Terjun.

Bau busuk yang menyengat sudah biasa bagi Ali. Bagaimana tidak, Ali tumbuh di kawasan itu. “Sudah biasa, ya namanya juga lahir di sini,” ujar Ali singkat tanpa banyak pikir.

Ali sedari kecil terbiasa ikut memulung untuk membantu orang tuanya dalam memenuhi kebutuhan agar dapur rumahnya tetap mengepul, sehingga mengumpulkan sampah menjadi aktivitas yang biasa dilakukannya. Keseharian anak-anak yang tinggal di sekitar TPA Terjun pun tak jauh dari aktivitas itu.

Tumpukan sampah sudah dijadikan layaknya wahana permainan bagi anak-anak di TPA yang luasnya 15 hektar itu. Namun, Ali melarang anaknya bermain ke sana.

“Anak-anak di sini sudah biasa main di sana (TPA Terjun), tapi anakku gak main ke sana,” sebut Ali sembari menggaruk kepala kebingungan.

Ia melarang anak-anaknya untuk melakukan hal yang sama seperti yang dilakukannya. Ia beranggapan bahwa anak berhak atas kehidupan yang layak, sehingga dirinya tidak akan meminta anak-anaknya untuk mengumpulkan sampah di sekitar TPA demi memperoleh beberapa lembar rupiah.

“Saya tidak ingin anak-anak saya merasakan apa yang saya rasakan, anak saya berhak untuk tumbuh sesuai dengan keinginannya. Saya tidak ingin anak saya menjadi seperti saya,” kata Ali.

Saya melihat mata sayunya berbicara. Pak Ali memang sedikit sulit untuk merangkai kata-kata. Namun, dibalik keterbatasannya ada harapan untuk masa depan anak-anaknya bisa lebih baik tanpa harus mengulangi kenangan masa kecilnya yang bersinggungan dengan sampah. (*)

*Reporter: Annisa Puteri Iriani

Komentar Anda

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan